Berkaca dari sejarah longsornya gunungan sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi pada 21 Februari 2005, pihaknya berharap pemerintah terus melakukan edukasi, memfasilitasi serta berkolaborasi dengan masyarakat sehingga sampah itu habis dikelola dari sumbernya.
“Ya kalaupun ada sisa ya residunya saja yang pergi dan dikelola di TPA. Residunya saja mungkin tidak lebih dari 30% ya, yang organik bisa kita bisa bikin kompos, bisa bikin magot bisa bikin berbagai jenis pupuk, bisa menciptakan lapangan pekerjaan itu,” ungkapnya.
Untuk mencapai hal itu, kata Anang, pemerintah perlu melakukan bimbingan teknis atau pun penyuluhan yang dilakukan secara berkala hingga pada akhirnya masyarakat terampil dan bisa atau mau mengerjakan hal tersebut.
Sementara terkait fasilitas dalam bentuk regulasi, Anang mengungkapkan, perlu adanya fasilitas pengolahan sampah untuk organik dalam setiap RW.
“Lahannya ada di fasum sebuah perumahan, ya fasilitasilah infrastruktur pengolahannya dari anggaran pemerintah daerah atau bisa saja menggunakan dana CSR, pemerintah kan punya otoritas mengatur itu,” katanya.
“Perusahaan punya kewajiban mengeluarkan CSR itu, bukan membebani perusahaan loh itu kewajiban sesuai undang-undang perseroan. Itu sangat besar jumlahnya, terutama dari perusahaan-perusahaan besar seperti bank, kemudian mungkin PLN,” tambahnya.
Anang menilai, yang tak kalah penting adalah membangun kolaborasi antar kelompok-kelompok masyarakat melalui penyuluhan melalui bimbingan teknis.
“Sehingga terbentuk kelompok masyarakat yang di sebuah kawasan ya, di sebuah RW gitu ya yang nanti bisa kerja sama,” imbuhnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini