“Di skema ini, nyamuk Aedes aegypti akan tetap ada untuk keseimbangan ekologis. Tapi dia sekarang sudah mengandung bakteri wolbachia supaya bisa menghentikan penyebaran virus dengue,” jelas Ira.
Ira mengaku, implementasi wolbachia ini bukan berarti menggantikan seluruh upaya pencegahan DBD yang ada. Langkah-langkah sebelumnya akan tetap dijalankan, seperti 3M (menguras, menutup, dan mengubur), fogging sesuai indikasi, dan Gerakan Satu Rumah Satu Juru Jumantik.
“Ini sebagai komplementer karena dengan upaya yang selama ini kita lakukan saja kasus DBD masih belum tuntas hilang. Sedangkan inovasi wolbachia ini sudah terbukti di Yogyakarta,” akunya.
Ia mengungkapkan, tantangan implementasi inovasi ini pada saat awal adalah lokasi penempatan ember telur nyamuk. Sebab di lokasi tersebut pasti akan jadi banyak nyamuk.
Jika masyarakat merasa terganggu, tidak apa-apa untuk membunuh nyamuk yang ada di sekitar dengan ditepuk, pakai raket nyamuk, atau obat serangga. Asalkan telur-telur nyamuk yang di ember jangan dibuang hingga menetas.
“Kita cuma minta tolong titip telur di ember ini saja. Telur-telurnya jangan diganggu dulu sampai menetas semuanya dan jadi nyamuk dewasa,” harapnya.
Ke depannya, akan ada 33.000 ember yang disebar se-Kota Bandung. Namun, untuk penyebarannya harus melihat dari peta udara dan satelit mengenai luas wilayah serta jumlah hunian. Sehingga tidak bisa disamaratakan jumlahnya tiap kecamatan.
Ira menuturkan, inovasi ini juga bertujuan untuk mengurangi paparan kimia yang tidak sesuai indikasi. Sehingga lebih aman bagi lingkungan, masyarakat, juga secara ekonomis lebih murah.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini