bukamata.id – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merilis daftar provinsi yang memiliki tingkat kerawanan tinggi isu politik uang. Dalam tiga urutan teratas, Jawa Barat (Jabar) bertengger di urutan ketiga.
Adapun 5 besar tingkat kerawanan tinggi isu politik uang di antaranya Maluku Utara, Lampung, Jabar, Banten dan Sulawesi Utara. Sedangkan DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur masuk kategori kerawanan sedang.
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, pemetaan kerawanan isu politik uang menjadi kebutuhan menghadapi Pemilu 2024. Sebab potret pelanggaran politik uang relatif tinggi jika berkaca pada pemilu sebelumnya.
“Situasi kekinian di mana sekarang modus operandinya banyak, Bawaslu berkebutuhan penting untuk memastikan kami lebih detail berkenaan memetakan kerawanan. Makanya dilakukan pemetaan,” kata Lolly di Bandung, Minggu (13/8/2023).
Lolly mengaku, Jabar masuk dalam kerawanan tinggi politik uang. Alhasil, pemetaan tersebut harus menjadi atensi semua pihak.
“Tidak hanya Bawaslu, tapi pemerintah daerah, seluruh pihak, termasuk partai politik, supaya menjaga, memastikan 2024 kita tidak tinggi angka penanganan pelanggaran politik uangnya,” ujar Lolly.
Menurut Lolly, politik uang ini bukan hanya sekadar tugas dari Bawaslu. Semua pihak harus ikut mengawal agar politik uang tidak terjadi di pemilu mendatang.
“Semua orang bertanggungjawab untuk tahu soal mitigasi ini, pemetaan ini, lalu punya upaya yang sama yang tepat untuk mencegahnya,” jelas Lolly.

Selain itu, Lolly juga menyoroti pelaku politik uang yang satu di antaranya adalah penyelenggara ad hoc. Temuan tersebut terjadi pada rentang 2019 hingga 2020 dan sudah ada putusan dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Apa warningnya buat Bawaslu? Tidak hanya buat Bawaslu, karena kalau penyelenggara berarti dia juga menyangkut KPU. Warningnya kami harus lebih ketat dan kuat lagi memastikan jajaran kami gak ada yang nakal,” tuturnya.
Lolly lantas menguraikan alasan dari ad hoc menjadi pelaku politik uang. Selain karena masa kerjanya sebentar, mereka pun dekat dengan kepentingan dan dekat dengan konflik.
Kemudian, gaji penyelenggara ad hoc tidak terlalu tinggi. Sebab mereka memang melakukan kerja-kerja pengabdian.
“Dalam posisi seperti itu maka penyelenggara ad hoc menjadi sangat rentan, sebagai pelaku politik uang,” tandasnya.