bukamata.id – Instruksi tegas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk menghentikan seluruh kegiatan rapat dinas di hotel menuai respons kritis dari pelaku usaha perhotelan dan pengamat kebijakan publik. Kebijakan ini dinilai berseberangan dengan semangat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang justru mendorong kegiatan pemerintahan di luar kantor guna mendongkrak ekonomi, khususnya sektor hospitality.
Dalam arahannya, Dedi menekankan pentingnya efisiensi anggaran dan optimalisasi fasilitas pemerintah. “Kantor yang ada sudah cukup untuk rapat. Seluruh keputusan pun banyak yang diambil di ruang kerja, bukan di rapat,” ujarnya dalam unggahan video di Instagram pribadinya pada Kamis (12/6/2025).
Dampak Serius ke Industri Hotel
Namun, kebijakan ini langsung dirasakan pahit oleh para pelaku industri perhotelan. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad Sofiandi, menyebut keputusan ini telah menyebabkan penurunan signifikan dalam okupansi hotel bintang 3 hingga 5. “Pemasukan dari kegiatan pemerintah ke hotel berkurang sekitar 40 persen. Kami melakukan efisiensi besar-besaran, mulai dari pengurangan listrik, pengadaan barang, hingga tenaga kerja,” ujarnya.
Dodi menyebut banyak pegawai kontrak dan pekerja harian lepas kini tak lagi diperpanjang kontraknya. “Kami hanya bisa berharap ada sedikit kelonggaran dari Pemprov agar kran kegiatan ini dibuka kembali, meski terbatas,” katanya.
Sudut Pandang Akademisi: Bukan Pelanggaran, Tapi Pemikiran Berbeda
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Asep Sumaryana, menjelaskan bahwa kebijakan Gubernur Dedi tidak bisa disebut sebagai pelanggaran, karena imbauan Kemendagri tidak bersifat mengikat. “Ini bukan pembangkangan. Tapi jelas ada perbedaan cara pandang,” ujarnya.
Menurut Asep, Kemendagri melihat kegiatan di hotel sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui sektor MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). “Kalau pejabat rapat di hotel, perputaran ekonomi cepat—hotel hidup, katering bergerak, pekerja terserap,” jelasnya.
Sebaliknya, Pemprov Jabar memilih efisiensi. “Rapat di kantor menghemat anggaran. Fasilitas milik pemda digunakan maksimal. Ini soal pengelolaan keuangan daerah secara ketat dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Dampak Luas ke Kebijakan Daerah
Keputusan Gubernur Dedi diprediksi akan berpengaruh ke kabupaten/kota lain di Jawa Barat, bahkan bisa menjadi rujukan nasional. “Gubernur Dedi bisa menjadi trendsetter. Tapi juga bisa memperlambat denyut sektor perhotelan yang kini tengah kritis,” ujar Asep.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, sebelumnya menegaskan pentingnya pemerintah mendukung sektor perhotelan dan restoran. “Kurangi boleh, tetapi jangan sampai nol. Targetkan hotel dan restoran yang butuh bantuan,” katanya dalam pernyataan awal Juni lalu.
Kritik Terbuka: Efisiensi atau Abai Sektor Strategis?
Kebijakan ini membuka ruang debat: apakah efisiensi anggaran harus mengorbankan sektor-sektor ekonomi riil yang menjadi tumpuan hidup masyarakat? Dalam konteks pemulihan pasca-pandemi dan tantangan ekonomi global, pemanfaatan APBD untuk mendukung sektor MICE sejatinya bukan semata pemborosan, tetapi investasi jangka pendek yang bisa menstimulasi roda perekonomian lokal.
Selama keputusan tetap berpijak pada transparansi dan akuntabilitas, diskursus soal “rapat di hotel” tidak hanya soal tempat, tapi strategi pemulihan ekonomi yang harus melihat dua sisi mata uang: efisiensi fiskal dan keberlanjutan ekonomi rakyat.