bukamata.id – Gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang kerap turun langsung ke lapangan dan mengambil keputusan secara spontan menuai perhatian. Kristian Widya Wicaksono, pakar kebijakan publik dari Universitas Parahyangan (Unpar), menilai bahwa Dedi memiliki gaya kepemimpinan otokratik, yang bisa menjadi pedang bermata dua.
“Gaya kepemimpinan Kang Dedi cenderung otokratik. Namun, otokratik bukan berarti otoriter,” ujar Kristian, Rabu (12/3/2025).
Menurut Kristian, kepemimpinan Dedi Mulyadi yang sering terjun langsung ke lapangan membuatnya merasa memiliki informasi yang cukup tanpa perlu berkonsultasi lebih lanjut. Hal ini mencerminkan kepercayaan diri tinggi, tetapi juga memiliki potensi risiko.
“Ia merasa keputusan yang diambilnya sudah tepat tanpa harus bertanya ke orang lain. Namun, jika informasi yang diperoleh tidak optimal, keputusan bisa kurang tepat dan menjadi bumerang,” jelasnya.
Dalam kondisi seperti itu, Kristian menilai bahwa bawahan sering kali harus turun tangan sebagai “pemadam kebakaran” untuk menyelesaikan dampak dari keputusan yang diambil secara cepat.
“Ini yang berbahaya. Jika terjadi masalah akibat keputusan yang kurang matang, bawahanlah yang harus menyelesaikan dampaknya, dan ini bukan situasi ideal,” jelasnya.
Selain itu, Kristian menyoroti dampak gaya kepemimpinan Dedi terhadap birokrasi di lingkungan Pemprov Jabar. Menurutnya, dengan pengambilan keputusan yang cenderung satu arah, bawahan kehilangan rasa memiliki dan inisiatif dalam menjalankan tugasnya.
“Mereka merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga keterikatan emosional dan rasa tanggung jawab berkurang. Jika terjadi masalah, mereka cenderung menganggap itu sebagai urusan atasan,” terangnya.
Sebagai akibatnya, birokrasi hanya berperan sebagai pelaksana tanpa inisiatif, karena semua keputusan sudah ditentukan dari tingkat atas.
Untuk mengatasi potensi permasalahan ini, Kristian menyarankan agar Dedi Mulyadi lebih banyak menjalin komunikasi dengan jajaran birokrasi, bukan hanya masyarakat.
“Pemimpin yang merakyat itu baik, tetapi jika sistemnya tidak berjalan dengan baik, tetap saja akan terjadi masalah,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa bukan hanya blusukan ke got yang penting, tetapi juga “blusukan” ke dalam birokrasi untuk memahami kendala di tingkat pelaksanaan kebijakan.
“Mendengarkan keluhan birokrat, memahami kendala mereka dalam memberikan layanan kepada masyarakat, dan mencari solusi bersama akan jauh lebih efektif,” lanjutnya.
Selain itu, Kristian menyarankan agar Dedi Mulyadi mendelegasikan lebih banyak kewenangan kepada birokrasi tingkat bawah, sehingga mereka bisa menyelesaikan layanan tanpa harus selalu menunggu keputusan dari tingkat atas.
“Jika Kang Dedi ingin lebih banyak turun langsung ke masyarakat, mungkin Kang Erwan bisa lebih berfokus pada pengelolaan birokrasi. Karena bagaimanapun, birokrasi adalah ujung tombak layanan publik,” tegasnya.
Menurutnya, birokrasi memiliki informasi strategis, memahami kendala implementasi kebijakan, dan mengetahui kelemahan dalam sistem yang ada. Oleh karena itu, peran mereka harus lebih diperhatikan.
“Justru orang-orang ini yang harus mendapatkan perhatian lebih dari Kang Dedi. Tanpa birokrasi yang efektif, keputusan sebesar apa pun tidak akan berjalan optimal,” pungkas Kristian.