bukamata.id – Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka diingatkan untuk berhati-hati dalam meningkatkan rasio utang negara yang mencapai angka 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, dalam Sekolah Demokrasi bertajuk “Tantangan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di era Prabowo- Gibran” melalui zoom meeting, Jumat (26/7/2024).
“Saya mendengar pada saat pemerintahan Prabowo-Gibran nanti akan dinaikan menjadi 50% atau bahkan 60%. Hal ini menurut saya tidak masuk akal,” ucap Esther.
“Karena ketika rasio utang terhadap PDB itu naik sampai 60% bahkan, meskipun IMF mengatakan ‘ini masih aman’, tetapi kalau tidak diimbangi dengan kenaikan Tax Revenue atau penerimaan utang pajak, maka ini sangat berbahaya,” tambahnya.
Esther menyebut, saat ini bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto mencapai 38 persen. Sehingga, jika mencapai angkat 50-60 persen maka akan sangat berbahaya.
“Sehingga ini sangat berbahaya. Karena saat ini kita sudah dalam kondisi ‘gali lubang, tutup lubang’, nantinya kita utang untuk membayar utang,” ungkapnya.
Esther menilai, investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan menjadi solusi dalam persoalan ini.
“Selama ini kalau kita cermati, data dari tahun 2018-2022, ternyata investasi yang masuk itu belum cukup untuk menciptakan lapangan pekerjaan, artinya di sini investasi belum ramah terhadap penciptaan lapangan pekerjaan,” katanya.
Sehingga kita berharap bahwa Indonesia Special Economic Zones yang sekarang sudah dibangun berkisar 20 (kota/kabupaten), 10 kawasan ekonomi khusus untuk industri, 10 kawasan ekonomi khusus untuk pariwisata, itu bisa lebih menarik investasi ke Indonesia, dari Sabang-Merauke, dari Aceh sampai dengan Morotai (Maluku) semuanya ada,” sambungnya.
Esther tak menampik, jika pemerintah Indonesia sudah mencoba melakukan upaya untuk bisa menarik investasi ke Special Economic Zones dengan Fiscal Incentives maupun dengan Non Fiscal Incentives.
Kendati demikian, pemerintah juga harus menyelesaikan terkait ketidakpastian hukum yang saat ini masih terselesaikan.
“Kemudian infrastruktur juga masih kurang. Lalu integrasi terhadap fasilitas publik itu masih kurang,” ujarnya.
Menurutnya, jika kawasan industri itu tidak terintegrasi dengan pelabuhan, bandara, akan lebih sulit melakukan proses ekspor-impor, Sehingga akan mengganggu proses produksi.
Kemudian, untuk bisa menarik investasi masuk ke Indonesia adalah harus menyelesaikan inkonsistensi kebijakan dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
“Meskipun kita tahu, kita masih punya PR besar bagaimana getting business licenses itu masih problem, itu bisa dilihat dari publikasi World Bank khusus untuk Indonesia,” tandasnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini