bukamata.id – Institut Teknologi Bandung (ITB) menampik kabar terkait dugaan kampanye Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) saat Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa (OSKM).
Kabar ITB mengkampanyekan LGBT itu menyeruak di lini massa lewat sebuah tangkap layar yang berisikan kuesioner atau angket yang akan diisi oleh mahasiswa baru.
Dalam kuesioner tersebut, terdapat tiga pilihan jenis kelamin di antaranya, perempuan, laki-laki, non-biner. Selain kuesioner kontroversial tersebut, terdapat salah satu mata acara dengan nama orasi pelangi.
Direktur Kemahasiswaan ITB, Prasetyo G. Adhitama menjelaskan, dalam kegiatan OSKM 2023 itu terdapat sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) oleh Satgas ITB.
Prasetyo memastikan, anggota Satgas ITB yang terlibat telah terlatih. Bahkan sudah sesuai dengan standar yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
“Untuk angket sendiri, Satgas sebenarnya punya yang disebarkan dan diisi oleh secara luas oleh mahasiswa dan itu yang sebenarnya. Angket lain yang disebarkan di dalam acara itu memang tidak teridentifikasi ada upaya untuk menyebarkan,” jelas Prasetyo di Rektorat ITB, Selasa (22/8/2023).
Setelah mengetahui itu, pihaknya langsung mengevaluasi dan menghubungi Satgas ITB untuk menutup akses kuesioner itu. Lalu, Satgas ITB hanya memberikan akses kuesioner yang telah memenuhi panduan atau standar yang dibuat oleh Kemdikbud.
“Setelah acara belum lama, langsung kami evaluasi, langsung Satgas mengontak mitra (pihak ketiga) tersebut untuk segera menutup angket itu. Kira-kira jam 12 angket sebenarnya angket itu sudah tidak bisa diakses lagi,” paparnya.
Di sisi lain soal orasi pelangi, menurut Prasetyo, pelangi di sini tidak mengampanyekan LGBT melainkan mewakili keragaman bidang-bidang di dalam program studi (prodi) mahasiswa.
“Kan ada sekitar 40 program studi (di ITB) dan itu bermacam-macam,” paparnya.
Prasetyo mengungkapkan, orasi pelangi merupakan tradisi sejak lama atau seingatnya sekitar 2013. Bahkan sebelum pelangi menjadi simbol LGBT, tradisi orasi pelangi sudah ada.
“Pelangi menjadi simbol LGBT mungkin dua atau tiga tahun belakangan, saya tidak hafal. Tapi saat hari pertama kami tetap melakukan evaluasi bersama panitia. Lalu panitia menyadari itu dan ini pelajaran bahwa apa yang dulu bukan isu sekarang menjadi isu,” ucapnya.
Pasca melakukan evaluasi, pihaknya mengubah nama orasi pelangi menjadi orasi warna-warni yang tercantum dalam susunan acara. Mengingat, dalam orasi itu mahasiswa yang terpilih diminta untuk menjelaskan keragaman bidangnya masing-masing.
“Jadinya orasi warna-warni, sebelumnya namanya orasi pelangi, karena itu tradisi dari lama. Artinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan LGBT. Kami memang tidak menemukan bukti-bukti ada usaha untuk kampanye atau apa pun yang seperti disorotkan oleh masyarakat,” ujarnya.
Prasetyo memastikan, pihaknya akan mengevaluasi kegiatan OSKM tahun ini agar tidak menimbulkan sangkaan-sangkaan di masyarakat. Dia yakin panitia memiliki kreativitas untuk menyampaikan ide untuk mengekpresikan kekayaan perbedaan.
“ITB akan mengkaji lagi hal-hal tersebut. Apakah nanti bentuk kegiatannya tentu akan kami diskusikan,” kata Prasetyo.
Sementara itu, Sekretaris Institut ITB, Widjaja Martokusumo menambahkan, acara OSKM di Kampus ITB Jatinangor saat itu dihadiri oleh rektor Reini D. Wirahadikusumah. Ketika itu, rektor sebagai pimpinan tertinggi kampus melihat, mengamati, bahkan ikut menutup acara OSKM.
“Menurut pantauan kami tidak ada kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada apa yang menang sorotan. Bahwa ada kekurangan dan yang harus diperbaiki, ya saya kira wajar,” kata Widjaja.