“Ini yang mengakibatkan tidak semua kasus bisa diselesaikan atau ditutup. Keluarga juga memiliki peran penting. Banyak kasusnya yang datang ke kami itu baru 2 kali, tapi setelah itu tidak datang lagi,” terangnya.
Oleh karena itu DP3A memiliki layanan penjangkauan. Para petugas akan datang untuk mendampingi langsung ke rumah korban, terutama bagi korban disabilitas dan lansia.
“Di UPTD PPA ada konselor, advokat, dan psikolog. Kami akan bantu mediasi, pendampingan hukum, bahkan ada tempat penampungan sementara selama 14 hari. Bagi masyarakat yang mengalami kekerasan, silakan langsung hubungi kami,” tuturnya.
Serupa dengan Kepala DP3A, Kepala Unit PPA Polrestabes Bandung, AKP Tuti Purnati. Juga mengakui sulitnya memproses kasus kekerasan seksual perempuan dan anak.
“Kadang korban tidak mau diproses lagi. Padahal kita harus tahu sedalam-dalamnya tentang kasus tersebut. Tapi ternyata saat kita tangani, korban sudah tidak bisa dihubungi,” ungkap Tuti.
Ia menambahkan, untuk menghadirkan saksi terkait kasus kekerasan seksual juga sulit. Kebanyakan orang tidak mau jika harus berhubungan dengan polisi. Belum lagi bukti-bukti yang sulit dikumpulkan.
“Misal, ada yang catcalling atau pelecehan seksual verbal, bukti-buktinya itu sulit untuk dikumpulkan. Jadi pada akhirnya kami mengacu pada KUHAP karena butuh pembuktian yang memang jelas,” jelasnya.
“Belum lagi hasil visum yang sampai saat ini masih dikenakan biaya, apalagi di RS swasta, bisa mencapai Rp450.000. Sedangkan korban kekerasan itu rata-rata ekonominya kurang. Kita sebenarnya punya fasilitas RS Polri. Tapi waktunya hanya sampai pukul 12.00 WIB,” lanjutnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini