bukamata.id – Kebijakan kenaikan pajak hiburan 40-70 persen dirasa memberatkan para pengusaha hotel yang memiliki tempat hiburan.
Pengenaan pajak hiburan tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU itu menetapkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) seperti makanan dan minuman, jasa perhotelan, dan jasa kesenian paling tinggi 10 persen.
Sedangkan, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, pajaknya ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Menanggapi hal ini, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Barat, Herman Muchtar mengatakan, UU kenaikan pajak ini akan membunuh para pengusaha hiburan.
“Iya itu kan membunuh pengusahaan hiburan, menghambat peningkatan kemajuan pariwisata khususnya Jawa Barat,” ujar Herman, Selasa (16/1/2024).
Herman menjelaskan, pemerintah seharusnya terlebih dahulu memikirkan pemulihan ekonomi sektor pariwisata setelah pandemi COVID-19, bukan membebankan dengan adanya UU tentang kenaikan pajak hiburan.
“Orang baru selesai pandemik COVID-19 recovery juga belum jalan, sekarang dibebankan (aturan) seperti itu, mana mungkin atuh. Harusnya pemerintah mendukung dulu recovery, orang restoran 2,5 tahun tutup setelah tutup kan berantakan ancur-ancuran,” katanya.
Herman yang juga Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Jawa Barat itu turut mengkritik soal UU kenaikan pajak sektor hiburan.
Menurutnya dalam menentukan aturan itu pemerintah sama sekali tidak melibatkan para pelaku pariwisata.
“Ini UU yang tidak melihat masyarakat dalam menentukan jadi UU nih. UU gak gampang dirubah ini uu bukan Perpres, Perwal, Perbup. UU ini tidak bisa diserahkan ke masing-masing daerah. gubernur, bupati, wali kota gak bisa melanggar UU,” tandasnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini