“Saya khawatir data ini masih relevan atau mendekati. Jadi dibutuhkan pihak yang independen untuk penanganan perundungan di sekolah. Karena guru bahkan kepala sekolah dapat menjadi pelakunya, bahkan tertinggi. Peserta didik harus punya tempat mengadu selain kepada pihak sekolah,” terangnya.
Syarief menyebut, perlindungan terhadap pelapor perundungan sudah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dan Kementerian PPPA memiliki SAPA 129.
Namun, poin pentingnya bukan hanya mengenai medium untuk melaporkan kasus perundungan, melainkan memberikan rasa aman bagi para pelapor.
Menurutnya, pelapor kasus perundungan harus dianonimkan agar mereka tidak menjadi korban perundungan selanjutnya.
“Jadi harus ada kepastian bagi pelapor dari korba maupun saksi tidak diketahui (anonim). Jadi mereka memiliki rasa aman dan tenang. Kita harus bisa memastikan mekanisme pelaporan ini seperti negara lainnya,” katanya.
Syarief mengatakan, penanganan kasus perundungan seharusnya tidak hanya fokus pada korban tetapi juga memperhatikan saksi.
Di negara lain, penanganan kasus perundungan dilakukan secara holistik, tidak hanya fokus pada pelaku dan korban tapi juga saksi agar bertindak.
Sebab, banyak saksi yang hanya menonton, melihat, hingga memvideokan tanpa bertindak. Oleh karena itu, dibutuhkan program yang mendorong orang untuk terlibat aktif menolong agar tidak hanya menonton ketika ada aksi perundungan.
“Mereka harus berani untuk bersikap, teriak, minta tolong atau langsung membantu. Bukan menjadi ajang tontonan, mereka diam tidak membantu. Ini yang menyebabkan perundungan sulit ditekan,” tandasnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini