“Banyak perusahaan di Indonesia nampaknya tenggelam dalam hype tentang AI, sehingga hal-hal yang bisa dipecahkan dengan rule-based juga akan dipecahkan dengan AI. AI seolah-olah dipercaya sebagai tongkat midas, semua yang disentuhnya bisa menjadi emas,” katanya.
Untuk terhindar euphoria ini dan memperoleh benefit maksimum AI, strategi utamanya adalah setiap organisasi fokus ke masalah spesifik yang memiliki dampak signifikan terhadap bisnis.
“Kita kurasi kembali visi dan nilai yang ingin diperoleh dari pengembangan AI tersebut, dengan demikian penerapan AI dapat lebih terarah dan memberikan hasil yang lebih nyata,” ujarnya.
Sementara itu, Dosen STEI ITB, Dimitri Mahayana memaparkan paradigma minMAX Ai sebagai paradigma filsafat sains untuk meminimalisir risiko AI sekaligus memaksimalkan nilai AI bagi Indonesia.
Dimitri memaparkan, ada enam elemen dalam Paradigma minMAX AI, yaitu:
– Manfaat : AI harus memberikan Manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan
– Indonesia : Menegaskan kemandirian Indonesia sebagai pusat AI yang memihak kepentingan nasional, tidak hanya mengikuti hegemoni global
– Narasi : Membangun narasi positif dan relevan untuk penerapan AI di Indonesia. Seperti konsep Membangun Akal Inspiratif Indonesia (AII), yakni AI yang bersifat manusiawi, memihak wong cilik, merdeka, berkeadilan, dan mampu menyejahterakan bangsa.
– Mengukur : Menciptakan ukuran evaluasi AI yang relevan untuk Indonesia melalui kolaborasi pemerintah, bisnis, dan akademisi.
– Aman : Menangani isu keamanan data serta isu AI lain seperti bias, transparansi, akurasi, fairness, halusinasi, dan lainnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini