“Biasanya, hanya tsunami politik dan money politic yang bisa mengubah peta elektabilitas dalam waktu yang singkat itu. Masalahnya, sejauh ini belum terlihat akan adanya tsunami politik tersebut. Termasuk, money politic,” ungkapnya.
Menurutnya, jika pun ada kandidat yang akan mencoba melakukan jurus abnormal seperti politik uang tidaklah mudah. Pertama, butuh cost yang sangat besar, bisa ratusan miliar.
Kedua, sangat beresiko mendapatkan diskualifikasi KPU karena masuk dalam kategori pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif).
“Mungkin, jika ada kandidat yang mau melakukan money politic, harusnya punya elektabilitas yang tidak terlalu jauh, misalnya selisih 5-7 persen. Tapi kalau sudah lebih dari 20 persen apalagi diatas 30 persen, biasanya akan berpikir ulang. Selain butuh uang berkarung-karung, juga belum tentu efektif,” terangnya.
Di sisi lain, bahwa dari data terbarunya itu ada sekitar 31,2 persen pemilih yang berkategori soft supporter. Yaitu gabungan antara yang sudah memilih tapi bisa berubah dengan yang belum punya pilihan sama sekali.
“Pemilih yang berkategori seperti ini biasanya menjadi lahan tak bertuan yang masih bisa diperebutkan siapa saja,” imbuhnya.
Toto menjelaskan, bahwa kandidat diluar tiga paslon diatas, yaitu Dedi -Erwan sudah memiliki strong supporter yang sangat fenomenal, yaitu 55,4 persen. Ini angka strong supporter yang jarang terjadi.
Dengan bekal angka ini, jika pun terjadi money politic, Dedi -Erwan tak akan kurang dari itu. Mungkin, uangnya diambil, tapi memilihnya tetap ke Dedi -Erwan.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini