Ayat-ayat tersebut menyoroti bahwa yang dianggap najis bukanlah zat fisik khamr, melainkan perilaku meminumnya yang menyebabkan mabuk. Mabuk, dalam pandangan Islam, merusak akal sehat, memicu permusuhan, dan menghalangi seseorang dari ibadah. Rasulullah SAW pun bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.” (HR. Bukhari).
Lantas, bagaimana dengan alkohol?
Muhammadiyah berpendapat bahwa alkohol berbeda dari khamr karena tidak semua alkohol digunakan sebagai minuman memabukkan. Alkohol memiliki manfaat luas dalam pengobatan, parfum, dan industri. Karena itu, ‘illat (alasan hukum) keharaman alkohol terletak pada efek memabukkannya, bukan pada zatnya. Alkohol tidak otomatis menjadi haram jika digunakan dalam hal yang bermanfaat dan tidak dikonsumsi secara memabukkan.
Dalam kaidah fikih, terdapat prinsip: “Setiap yang najis itu haram, tetapi tidak semua yang haram itu najis.”
Hal ini dipertegas dalam rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah edisi No. 13 tahun 2005. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa QS. Al-Maidah ayat 90 tidak menyatakan zat khamr sebagai najis secara fisik, melainkan mengategorikan perilaku minumnya sebagai najis maknawi. Sama halnya dengan berhala yang dianggap najis karena perbuatan menyembahnya, bukan karena zat batu yang menjadi bahannya.
Karenanya, Muhammadiyah memandang alkohol sebagai najis maknawi, bukan lidzatihi. Zat alkohol itu sendiri tidak dianggap najis, namun perbuatan meminum atau menggunakan alkohol dengan cara yang memabukkan menjadikannya haram.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini