Keberadaan makam ini mengingatkan akan rumah kolonial di Bandung pada tahun 1900-an, dengan dua pilar di beranda dan atap yang khas.
Tidak hanya makam Ong Kwi Nio dan Tan Joen Liong, di Pemakaman Cikadut juga terdapat makam Ibu Djuriah, seorang Tionghoa beragama Islam, serta makam bersama satu keluarga korban kecelakaan.
Setiap makam di TPU Terpadu Cikadut memiliki cerita dan nilai sejarah yang tinggi. Ini menunjukkan keragaman budaya dan agama yang ada di Bandung.
TPU Terpadu Cikadut juga memiliki area kremasi pemakaman yang didirikan oleh Yayasan Krematorium Bandung pada 14 Oktober 1961 oleh sembilan pedagang Tionghoa yang tinggal di Bandung.
Berdasarkan keterangan yang tertera pada dinding pintu masuk krematorium, kesembilan orang tersebut–Tjon Way Lie, Oey Tjin Hon, Oey Tin Bouw, Tan Po Hwee, Tan Tjiauw Djien, Tjiao Tjin Host, Khuow Tjeng Loen, Tan Tek Jam dan Lo Siauw Tjong, mengumpulkan uang sejumlah Rp15.000 untuk membangun Jajasan Crematorium Bandung yang saat ini telah berubah ejaannya.
Krematorium ini melayani proses kremasi sesuai tradisi Hindu dan Buddha, dengan tiga oven yang masih beroperasi hingga kini.
Pemakaman Cikadut, dengan segala romantisme dan sejarahnya, adalah warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.
Kini, TPU Cikadut telah menjadi TPU Terpadu, di mana TPU Terpadu merupakan areal tanah yang disediakan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah untuk tempat pemakaman jenazah/kerangka jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan.
Diketahui saat ini data pemakaman di TPU Terpadu Cikadut berjumlah 8591. Dengan rincian data makam Covid-19 muslim dan non muslim sejumlah 3845 sedangkan makam biasa 4746.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini