bukamata.id – Jalan Asia Afrika di Kota Bandung bukan sekadar jalur lalu lintas, melainkan kawasan wisata bersejarah yang penuh pesona dan cerita. Terkenal dengan atmosfer tempo dulu, kawasan ini menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun mancanegara, termasuk turis dari Belanda yang datang untuk bernostalgia.
Dikelilingi oleh bangunan bergaya Art Deco klasik yang memesona, Jalan Asia Afrika kerap menjadi latar favorit untuk berfoto, pemotretan prewedding, syuting film, hingga acara budaya. Estetika arsitekturnya menghidupkan kembali nuansa kolonial, menjadikannya tempat yang tak hanya bersejarah, tetapi juga sangat Instagramable.
Salah satu daya tarik ikonik di kawasan ini adalah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) dengan desain artistik. Di JPO tersebut, pengunjung dapat menemukan kutipan terkenal dari M.A.W. Brouwer: “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum,” yang menggambarkan keindahan dan keistimewaan tanah Sunda, khususnya Bandung.
Jalan Asia Afrika bukan hanya tempat wisata, tapi juga bagian penting dari perjalanan sejarah bangsa. Di sinilah Konferensi Asia Afrika (KAA) pertama digelar pada 18–24 April 1955, mempertemukan negara-negara dari dua benua untuk memperjuangkan solidaritas dan kemerdekaan.
Namun sejarah jalan ini jauh lebih panjang. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels antara tahun 1808–1811, Jalan Asia Afrika merupakan bagian dari Jalan Raya Pos (De Groote Postweg), proyek ambisius yang membentang sepanjang 1.000 km dari Anyer hingga Panarukan. Pembangunan jalan ini melibatkan kerja paksa (rodi) dari masyarakat pribumi dan menjadi tonggak awal pertumbuhan Kota Bandung.
Sebelum dikenal sebagai Jalan Asia Afrika, kawasan ini pernah menyandang nama Groote Postweg, lalu Jalan Raja Timur. Perubahan nama menjadi Jalan Asia Afrika dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas penyelenggaraan KAA tahun 1955, yang menjadikan Bandung sorotan dunia.
Selain nilai historisnya, kawasan ini juga merupakan titik 0 kilometer Kota Bandung, menandai pusat awal perkembangan kota. Beberapa bangunan bersejarah di sepanjang jalan ini seperti Gedung Merdeka—tempat berlangsungnya KAA, dan Hotel Savoy Homann—hotel pertama di Bandung, masih berdiri megah dan menjadi saksi bisu perjalanan waktu.
Dalam buku Telusur Bandung karya Febriana dan Teguh Amor, disebutkan bahwa Jalan Asia Afrika membelah kota secara horizontal, memisahkan wilayah utara dan selatan Bandung pada masa kolonial. Kala itu, wilayah utara diperuntukkan bagi warga Eropa, sementara wilayah selatan dihuni oleh pribumi, termasuk suku Sunda dan Jawa.
Kini, Jalan Asia Afrika tak hanya menjadi kawasan penuh sejarah, tetapi juga destinasi wisata budaya yang menggambarkan identitas multikultural Bandung. Perpaduan antara masa lalu dan masa kini menjadikan kawasan ini sebagai simbol kehormatan, kenangan, dan kebanggaan bagi warga kota kembang dan Indonesia.