“Ketika tahun 60 bapak di penjara di Madiun, itu selama 6 tahun sampai 1996, disitu masa-masa krisis, krisis ekonomi karena tidak ada penghasilan, krisis segala macem lah, termasuk pangan sandang, kita tidak merasakan itu, ibu yang merasakan, tapi kita harus merasakan senang, harus merasakan kita harus bisa makan dan sebagainya,” tuturnya.
“Saya juga gak mengerti kalau dulu sapiring tiluan, kenapa sapiring tiluan? Ternyata itu dibagi, jadi kekuatan seorang ibu biarpun pahit di rumah tangga, karena ekonomi, pangan sandang, tidak diperlihatkan kepada anak-anaknya, itu yang buat saya sangat luar biasa,” tambahnya.
Adang mengatakan, kebiasaan itu pun terbawa hingga saat ini. Dimana setiap kali berkunjung ke rumah ibu, baik Adang atau pun anak dan cucu yang lainnya selalu ditanyakan sudah makan atau belum.
“Makanya, setiap datang ke rumah ibu pasti yang ditanyakan udah makan belum, itu harus semuanya harus sudah makan tidak boleh pait lah,” imbuhnya.
Kemudian, almarhum juga sangat mendukung setiap aktvitias yang dilakukan oleh sang suami. Hal itu terlihat, saat KH. EZ. Muttaqien bebas dari perjara pada tahun 1966.
“Kemudian dari 1996, bapak bebas, itu mendampingi bapak sebagai pejuang muda tapi tidak mengeluh, semua yang dilakukan oleh bapak disupport sekali oleh ibu, mau bapak pulang jam berapa, berapa hari itu disupport aja,” katanya.
Bagi Adang, banyak pelajaran berharga yang dirinya pelajari dari sosok almarhum. Pertama adalah bagaimana menjadi seorang yang penyabar.
“Ibu itu gak pernah marah, sama dengan bapak gak pernah marah, marahnya ibu itu adalah diam, berarti kalau udah diam wah marah, nah itu yang membuat saya menjadi pelajaran yang paling besar, sebab kalau jaman sekarang kan kalau ada yang memarahi langsung, bahkan memukul, kalau ibu engga, diam aja, dan marahnya ibu sangat luar biasa, itu satu,” terangnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini