bukamata.id – Jalan Braga, yang kini dikenal sebagai salah satu ikon Kota Bandung, menyimpan kisah panjang yang penuh warna dan sejarah.
Dahulu, jalan ini hanyalah sebuah gang kecil yang sepi dan memiliki reputasi kurang aman, sehingga dijuluki “Jalan Culik.”
Pada awal abad ke-20, jalan ini juga dikenal sebagai Jalan Pedati (Pedatiweg), mengingat fungsinya sebagai jalur pedati warga.
Namun, segalanya mulai berubah ketika para pengusaha, khususnya dari Belanda, mulai membuka toko-toko, bar, dan tempat hiburan di sepanjang ruas jalan ini.
Seiring waktu, Jalan Braga pun menjelma menjadi pusat ekonomi dan hiburan di Bandung, terutama pada era 1920 hingga 1930-an. Deretan butik dan toko bergaya Eropa, terutama yang meniru tren Paris, turut menjadikan kawasan ini sebagai tempat gaul bergengsi pada masanya.
Kemegahan Braga makin terasa dengan berdirinya bangunan ikonik seperti Societeit Concordia dan Hotel Savoy Homann. Namun, popularitasnya juga membawa sisi lai, kemunculan tempat hiburan malam dan kawasan lampu merah. Hal ini membuat nama Braga juga dikenal luas di kalangan wisatawan mancanegara.
Karena citranya yang melekat dengan hiburan malam, muncul anekdot dan sindiran yang beredar saat itu. Salah satunya adalah imbauan unik berbunyi: “Para Tuan-Tuan Turis sebaiknya tidak mengunjungi Bandung apabila tidak membawa istri atau meninggalkan istri di rumah.”
Istilah “Kota Kembang” pun muncul sebagai julukan baru bagi Bandung, baik karena keindahannya maupun karena keberadaan perempuan-perempuan cantik yang sering dikaitkan dengan kawasan ini.
Fenomena Braga tak hanya terjadi di Bandung. Kota-kota lain di era Hindia Belanda juga memiliki jalan legendaris serupa, seperti Jalan Kayutangan di Malang (yang kini menjadi Jalan Basuki Rahmat), Malioboro di Yogyakarta, dan sejumlah jalan di Jakarta yang dulunya menjadi pusat aktivitas masyarakat kolonial.
Asal Usul Nama “Braga”
Nama “Braga” sendiri memiliki banyak versi asal usul. Salah satunya menyebutkan bahwa nama ini berasal dari Theotila Braga, seorang penulis naskah drama terkenal. Versi lain mengatakan kata ini merujuk pada “Bragi,” dewa puisi dalam mitologi Jermanik.
Sementara itu, pendapat ketiga mengaitkan kata “braga” dengan istilah dalam bahasa Sunda yang berarti “jalan di tepi sungai”, mengacu pada letaknya yang memang berada di sisi Sungai Cikapundung.
Dengan segala cerita dan kemegahannya, Jalan Braga tetap menjadi destinasi favorit warga dan wisatawan. Sebuah jejak sejarah yang terus hidup di tengah modernisasi Kota Bandung.