Dalam kitab at-Tafsirul Munir, juz 25, halaman 81, Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa salah satu karakter orang yang beriman adalah melaksanakan musyawarah terkait persoalan kecil dan besar.
Artinya mereka tidak mengambil kebijakan secara individu, tetapi selalu mengakomodir suara kolektif dalam memutuskan berbagai urusan, termasuk pemilihan pemimpin, pengelolaan negara, pengambilan kebijakan negara, dan lain sebagainya.
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah
Dalam catatan sejarah yang dikutip Ramadhan al-Buthi dalam Fiqhus Sirah an-Nabawiyah, halaman 351, Nabi Muhammad tidak menunjuk Abu Bakar sebagai pengganti kepemimpinan umat Islam setelah beliau wafat. Para sahabat melaksanakan musyawarah untuk memilih pemimpin dengan perdebatan antara kalangan Muhajirin dan Anshor, sampai Abu Bakar yang terpilih dengan aklamasi.
Setelah wafatnya Umar, para sahabat menunjuk enam orang sahabat, yaitu Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’d, dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Mereka akhirnya sepakat memilih Utsman, meskipun ada Ali ibn Abi Thalib. Satu hal yang harus diperhatikan adalah sikap para sahabat dalam menerima perbedaan pandangan dan hasil musyawarah dengan mekanisme aklamasi atau voting untuk mencari pendapat mayoritas.
Sikap ini merupakan warisan dari metode Nabi dalam bermusyawarah dengan para sahabat. Nabi mengambil kebijakan dari pendapat suara mayoritas sahabat, sebagaimana ditegaskan Ibnu ‘Asyur dalam kitab At-Tahrir wat Tanwir, juz 10, halaman 75:
وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الرَّسُولَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ غَيْرُ مُعَاتَبٍ لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَخَذَ بِرَأْيِ الْجُمْهُورِ
Artinya, “Dalam ayat ini (surat al-Anfal, ayat 67), Nabi bukan sosok yang disalahkan karena Nabi hanya mengambil kebijakan berdasarkan pendapat mayoritas sahabat.”
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini