Niki Alma mengutarakan bahwa penggunaan kata “maut” (al-mawt) dalam hadis tersebut menggambarkan betapa seriusnya dampak yang mungkin terjadi. Mengutip pandangan ʿAbd al-Karim al-Khudlayr dalam Syarḥ ʿUmdat al-Aḥkām, Rasulullah mengibaratkan ipar dengan maut karena maut mengakibatkan hilangnya kehidupan, sedangkan masuknya ipar ke rumah tanpa mahram bisa mengakibatkan hilangnya agama seseorang, yang lebih parah daripada maut itu sendiri.
Sebagian ulama juga menafsirkan bahwa “ipar itu adalah maut” atau “al-ḥamwu al-mawt ” karena potensi fitnah yang dapat mengarah pada perbuatan dosa besar, seperti perzinahan. Jika seorang ipar masuk ke rumah seorang perempuan/laki-laki yang sudah menikah tanpa kehadiran mahram, setan bisa menjadi pihak ketiga di antara mereka. Ini bisa menyebabkan perbuatan dosa yang sangat serius dan akhirnya berujung pada hukuman berat, seperti rajam, yang diibaratkan seperti maut.
“Oleh karena itu, menjaga diri dari situasi yang dapat mengarah kepada dosa adalah bentuk pencegahan yang sangat penting,” ucap Dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan ini.
Bukan hanya dengan kerabat keluarga, dengan perempuan lain di luar itu juga tidak diperbolehkan untuk berdua-duaan dengan lawan jenis. “Bahaya berkhalwat itu bukan hanya dengan ipar, tapi laki-laki dan perempuan yang bukan mahram secara umum,” terang Niki Alma. Ia mengutip hadis lain, Nabi Saw bersabda: Lā yakhluwanna rajulun bi’imra’atin illā wa ma‘ahā dzū maḥram, artinya: “Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali ada mahram bersamanya.”
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini