bukamata.id – Nama Pondok Pesantren Lirboyo Kediri kembali mencuat ke ruang publik setelah kemunculannya dalam program Xpose Uncensored Trans7. Tayangan tersebut menuai reaksi keras karena dinilai tidak menghormati para ulama dan lingkungan pesantren. Gelombang kritik di media sosial pun tak terhindarkan, membuka ruang diskusi tentang batas etika media ketika membahas lembaga keagamaan.
Namun jauh sebelum menjadi sorotan media modern, Lirboyo menyimpan catatan sejarah panjang sebagai salah satu pusat pendidikan Islam terbesar di Nusantara. Lebih dari sekadar pesantren, Lirboyo turut mewarnai perjalanan bangsa, terutama di masa-masa krusial mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Asal Usul dan Perkembangan Pesantren Lirboyo
Pondok Pesantren Lirboyo berdiri pada tahun 1910 M. Pendiri utamanya adalah KH. Abdul Karim, seorang ulama asal Magelang, Jawa Tengah, yang hijrah ke Kediri untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan agama. Ia mendirikan pesantren dengan sistem salafiyyah yang menekankan kajian kitab kuning, fiqih, tauhid, dan tasawuf secara mendalam. Metode klasik ini kemudian menjadi ciri khas Lirboyo yang bertahan hingga kini.
Sepeninggal KH. Abdul Karim, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh dua menantunya: KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly. Keduanya dikenal memiliki pandangan jauh ke depan, bukan hanya dalam penguatan kurikulum agama, tapi juga dalam pengelolaan kelembagaan pesantren yang modern untuk ukuran zamannya.
Perkembangan Lirboyo berlangsung pesat. Saat ini, lembaga ini menaungi 17 unit pesantren, seperti HM Mahrusiyyah, Salafy Terpadu Ar-Risalah, Darussalam, Al-Baqoroh, dan beberapa lainnya.
Santrinya kini mencapai lebih dari 43.000 orang, tidak hanya dari berbagai penjuru Indonesia, tetapi juga dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Skala ini menempatkan Lirboyo sebagai salah satu pesantren terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia.
Peran Strategis Lirboyo dalam Perjuangan Kemerdekaan
Sejarah Lirboyo tidak bisa dilepaskan dari perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, kabar kemerdekaan disampaikan oleh Mayor Mahfud — mantan Sudanco PETA — kepada KH. Mahrus Aly. Kabar itu disambut dengan pertemuan besar di Masjid Pesantren Lirboyo. Dalam forum tersebut diputuskan langkah berani: melakukan pelucutan senjata terhadap tentara Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon, sekitar 1,5 km dari pesantren.
Malam itu, sebanyak 440 santri bergerak dengan senjata seadanya. Operasi penyergapan dipimpin oleh KH. Mahrus Aly, Mayor Mahfud, dan Abdul Rakhim Pratalikrama. Taktik cermat dan keberanian luar biasa membuat aksi tersebut berhasil. Satu truk senjata berhasil direbut dan diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian menjadi bagian penting dalam pertahanan Kediri.
Tak hanya di Kediri, Lirboyo juga menjadi bagian dari gelombang Resolusi Jihad yang dicetuskan KH. Hasyim Asy’ari pada 21–22 Oktober 1945. Resolusi ini mewajibkan kaum Muslimin untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda dan Sekutu. KH. Mahrus Aly turut hadir dalam pertemuan para ulama di gedung HBNO, Bubutan, Surabaya.
Sebagai tindak lanjut resolusi tersebut, 97 santri Lirboyo dikirim ke Surabaya. Di bawah komando langsung KH. Mahrus Aly, mereka bergabung dengan Laskar Hizbullah. Dengan peralatan terbatas, para santri berhasil merebut sembilan senjata dari pasukan lawan dan kembali tanpa korban jiwa. Semangat mereka turut menyulut perlawanan besar yang kemudian meletus pada Pertempuran 10 November 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Nama-nama seperti Syafi’i Sulaiman, Agus Jamaludin, Masyhari, dan banyak lainnya tercatat sebagai bagian dari pasukan santri yang bertempur di Surabaya. Mereka datang bukan hanya dari Kediri, tetapi juga dari Salatiga, Nganjuk, Blitar, Jember, hingga Singapura. Doa dan dukungan spiritual dari KH. Abdul Karim dan KH. Marzuqi Dahlan terus mengalir dari pesantren, menjadi “benteng batin” perjuangan para santri di garis depan.
Lirboyo dan Polemik Tayangan Trans7
Dengan sejarah panjang tersebut, tak heran jika Lirboyo dihormati sebagai institusi keagamaan dan kebudayaan yang memiliki pengaruh besar. Karena itu pula, kemunculannya dalam program Xpose Uncensored Trans7 belakangan ini menuai kontroversi. Tayangan tersebut dianggap menampilkan Lirboyo dan ulama dengan cara yang tidak pantas, sehingga memicu gelombang reaksi dari masyarakat pesantren dan kalangan Nahdliyin.
Polemik ini membuka perdebatan penting: bagaimana media seharusnya memperlakukan lembaga keagamaan yang punya kontribusi besar terhadap sejarah bangsa? Di satu sisi, media memiliki fungsi kontrol sosial dan kebebasan berekspresi. Namun di sisi lain, ada batas etika dan sensitivitas kultural yang perlu dijaga, terutama ketika menyangkut tokoh dan lembaga dengan akar sejarah panjang seperti Lirboyo.
Penutup
Pondok Pesantren Lirboyo bukan sekadar lembaga pendidikan Islam, melainkan bagian penting dari denyut sejarah perjuangan Indonesia.
Dari ruang ngaji hingga medan tempur, dari masa kolonial hingga era digital, Lirboyo tetap berdiri sebagai simbol keilmuan, keberanian, dan keteguhan. Polemik dengan media hari ini seharusnya menjadi momentum untuk kembali mengenang dan menghargai jasa besar pesantren dalam perjalanan bangsa.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News









