bukamata.id – Di tepian Gampong Meunasah Bie, Kecamatan Meurah Dua, aroma tanah basah masih pekat di udara pada Senin pagi itu, 8 Desember 2025. Sisa-sisa banjir bandang yang melanda Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, dua minggu sebelumnya, masih jelas terlihat—runtuhan rumah, perabotan yang terdampar di halaman, hingga tumpukan kayu gelondongan yang seolah membentuk dinding baru di tengah permukiman. Pada beberapa titik, batang-batang kayu besar itu menutup jalan, merusak pagar rumah, bahkan menyangkut di atap-atap bangunan yang belum sempat dibersihkan warga.
Di tengah suasana yang muram itu, suara berat namun pelan terdengar dari kejauhan—suara langkah gajah. Empat ekor gajah Sumatera muncul dari arah jalan desa, masing-masing ditunggangi mahout berpengalaman. Abu, Mido, Ajis, dan Noni—nama-nama yang mungkin lebih akrab terdengar di Pusat Latihan Gajah (PLG), kini hadir di tengah kawasan permukiman manusia, bukan untuk pertunjukan atau atraksi wisata, tetapi untuk mengerjakan sesuatu yang jauh lebih berat dan mendesak: memindahkan tumpukan kayu gelondongan yang menutupi akses warga.
Material kayu berukuran besar itu bukan sekadar hambatan visual. Dalam jumlah sebanyak itu, kayu bisa menjadi ancaman lain—membahayakan warga yang tengah memperbaiki rumah, menghalangi jalur evakuasi, bahkan menjadi sumber banjir susulan jika kembali menyumbat aliran sungai. Karena alasan itulah, tim gabungan memutuskan mengerahkan gajah, hewan yang memiliki kekuatan besar namun juga kelincahan dalam mengontrol gerakan, untuk membersihkan puing-puing tersebut.
Di media sosial, terutama setelah video momen pembersihan diunggah melalui akun Instagram @fakta.indo, reaksi publik pun bermunculan. Dalam video itu terlihat Abu dan Ajis mengaitkan batang kayu besar menggunakan belalai mereka, mengangkat dan memindahkannya ke sisi jalan. Setiap gerakan terlihat stabil, menunjukkan pengalaman panjang mereka dalam menangani medan sulit. Namun di balik kekaguman tersebut, muncul pula empati dan kekhawatiran dari netizen.
“Kasian ya Allah sewa alat kek!,” tulis seorang pengguna Instagram, mengungkapkan rasa iba melihat gajah bekerja keras. Komentar lain menyusul, “Rumahnya dihancurkan tapi tenaganya dibutuhkan,” juga “Jangan mau gajah,” hingga komentar bernada protes keras, “KENAPA PAKAI HEWAN???”. Dalam salah satu komentar yang menjadi sorotan, seorang warganet menulis, “Udah jatoh tertimpa tangga… lo bayangin rumah diambil tapi lo masih dipaksa bersihin kotoran rumah lo yang udah mereka ambil.”
Beragam reaksi itu mencerminkan dilema yang muncul setiap kali hewan liar digunakan untuk operasi kemanusiaan. Namun di lapangan, para petugas punya pertimbangan berbeda. Gajah bukan sekadar hewan pekerja; mereka adalah mitra yang telah dilatih bertahun-tahun dan berpengalaman dalam operasi kebencanaan. Mereka mengisi kekosongan yang tak dapat digantikan alat berat, terutama ketika medan sulit dijangkau atau ketika mesin dianggap berisiko memperparah kerusakan.
Kepala KSDA Wilayah Sigli, Hadi Sofyan, memberikan penjelasan langsung mengenai keterlibatan empat gajah tersebut. “Gajah terlatih yang kita bawa ini sebanyak empat ekor, dan semuanya dari PLG Share,” katanya saat berada di lokasi pembersihan. Ia mengungkapkan bahwa Abu, Mido, Ajis, dan Noni bukan pendatang baru dalam penanganan bencana. Mereka bahkan terlibat dalam pembersihan pasca tsunami Aceh tahun 2004—salah satu bencana terbesar dalam sejarah Indonesia. “Berdasarkan pengalaman sebelumnya, termasuk saat tsunami di Aceh, kehadiran gajah sangat membantu membersihkan puing-puing,” ujarnya.
Menurut Hadi, wilayah dengan dampak terparah berada di Kecamatan Meureudu dan Meurah Dua, tempat kayu-kayu besar menutup akses jalan dan menimpa rumah warga. Sementara alat berat memang tersedia, tidak semua sudut desa bisa mereka jangkau. Banyak jalur sempit atau wilayah yang tanahnya labil, sehingga risiko alat berat terguling atau menambah kerusakan sangat besar. “Di sinilah peran gajah sangat penting,” jelasnya.
Gajah, dengan tubuh besar namun pijakan yang relatif stabil, mampu bergerak di jalan sempit, mendaki tanah berlumpur, dan mengangkat kayu dalam posisi sulit dengan belalai mereka. Selain memindahkan batang kayu, para mahout juga mengarahkan gajah untuk membuka akses menuju rumah-rumah warga yang sebelumnya terisolasi. Dalam kondisi tertentu, mereka bahkan disiapkan untuk membantu evakuasi jika masih ada korban yang ditemukan tertimbun material.
Lebih jauh, kehadiran gajah juga memudahkan pendistribusian logistik. Beberapa titik bantuan hanya bisa dicapai lewat jalur yang sempit dan masih tertutup puing. Dalam kasus ini, gajah dapat membawa air minum, makanan, hingga perlengkapan dapur darurat ke rumah-rumah atau pos kecil yang didirikan warga.
Meskipun demikian, kritik dari publik tidak diabaikan begitu saja. Para mahout memastikan bahwa keempat gajah bekerja dalam durasi yang diatur, diselingi waktu istirahat, makan, dan pemeriksaan kondisi. Bagi para pelatih, keselamatan gajah sama pentingnya dengan keberhasilan operasi. Mereka juga menyadari bahwa keberadaan gajah harus membawa manfaat, bukan penderitaan tambahan.
“Untuk durasi, kami akan bertugas selama tujuh hari di sini, terakhir 14 Desember 2025,” jelas Hadi. Selama satu minggu tersebut, tim gabungan berupaya menuntaskan pembersihan kayu yang menutup akses kritis. Namun secara keseluruhan, proses pemulihan dipastikan akan berlangsung lebih lama, mengingat luasnya dampak banjir bandang yang melanda kawasan tersebut.
Di tengah perdebatan publik dan kepenatan warga yang masih berupaya membangun ulang kehidupan mereka, pemandangan empat gajah itu bekerja perlahan menggeser suasana muram menjadi sedikit lebih hangat. Ada rasa haru sekaligus kekaguman ketika melihat makhluk raksasa yang biasanya hidup jauh di dalam hutan kini hadir membantu menyelamatkan ruang hidup manusia. Mungkin ini bukan gambaran ideal dunia tanpa bencana. Namun di saat sulit, kehadiran mereka menjadi pengingat bahwa alam, dalam banyak cara, tak hanya membawa bencana—tetapi juga menghadirkan penolongnya sendiri.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News








