Oleh karena itu, kata Jeje, jika sudah menyentuh aspek sensitif dari budaya keagamaan yang dianut oleh suatu bangsa, maka persoalannya menjadi besar. Sebab, di sana sudah ada ketersinggungan budaya.
“Ketersinggungan budaya atas syiar agama, ini harusnya dipahami dan dihindari secara bijaksana. Apalagi momennya adalah kehadiran tamu yang dimuliakan,” imbuhnya.
Jeje kemudian menyoroti pernyataan mengapa kegiatan keagamaan suatu kelompok harus meniadakan kegiatan syiar agama kelompok lain, apalagi mayoritas.
“Ada pepatah, di mana bumi diinjak, di sana langit di junjung. Artinya, tamu harus menghormati tata budaya dan syiar agama masyarakat setempat,” sebutnya.
Jeje mengatakan bahwa pemerintah tidak selayaknya mengeluarkan imbauan untuk penggantian siaran azan di TV atas dasar adanya siaran langsung acara Misa Akbar. Karena itu justru akan menimbulkan ketersinggungan masyarakat muslim.
“Jangan sampai keberatan yang disampaikan oleh sebagaian masyarakat Indonesia dipahami sebagai bentuk intoleransi,” ujarnya.
Sebab menurutnya, masyarakat Indonesia sudah sangat toleran dengan menerima kehadiran Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik di negeri ini.
“Terbukti dengan keterbukaan menerima pemimpin tertinggi umat Katolik hadir di negeri ini. Tetapi harus dipahami sebagai bentuk saling menghargai dan menghormati syiar keagamaan masing-masing,” tandasnya.
Untuk diketahui, Kementerian Agama (Kemenag) mengimbau stasiun TV mengganti siaran azan magrib dengan running text atau teks berjalan saat pelaksanaan misa akbar yang dipimpin Paus Fransiskus di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta pada Kamis (5/9/2024).
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini