Di sisi lain soal orasi pelangi, menurut Prasetyo, pelangi di sini tidak mengampanyekan LGBT melainkan mewakili keragaman bidang-bidang di dalam program studi (prodi) mahasiswa.
“Kan ada sekitar 40 program studi (di ITB) dan itu bermacam-macam,” paparnya.
Prasetyo mengungkapkan, orasi pelangi merupakan tradisi sejak lama atau seingatnya sekitar 2013. Bahkan sebelum pelangi menjadi simbol LGBT, tradisi orasi pelangi sudah ada.
“Pelangi menjadi simbol LGBT mungkin dua atau tiga tahun belakangan, saya tidak hafal. Tapi saat hari pertama kami tetap melakukan evaluasi bersama panitia. Lalu panitia menyadari itu dan ini pelajaran bahwa apa yang dulu bukan isu sekarang menjadi isu,” ucapnya.
Pasca melakukan evaluasi, pihaknya mengubah nama orasi pelangi menjadi orasi warna-warni yang tercantum dalam susunan acara. Mengingat, dalam orasi itu mahasiswa yang terpilih diminta untuk menjelaskan keragaman bidangnya masing-masing.
“Jadinya orasi warna-warni, sebelumnya namanya orasi pelangi, karena itu tradisi dari lama. Artinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan LGBT. Kami memang tidak menemukan bukti-bukti ada usaha untuk kampanye atau apa pun yang seperti disorotkan oleh masyarakat,” ujarnya.
Prasetyo memastikan, pihaknya akan mengevaluasi kegiatan OSKM tahun ini agar tidak menimbulkan sangkaan-sangkaan di masyarakat. Dia yakin panitia memiliki kreativitas untuk menyampaikan ide untuk mengekpresikan kekayaan perbedaan.
“ITB akan mengkaji lagi hal-hal tersebut. Apakah nanti bentuk kegiatannya tentu akan kami diskusikan,” kata Prasetyo.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini