bukamata.id – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) kembali menggelar Sekolah Demokrasi (Sekdem) tahun 2024. Berbeda dengan tahun sebelumnya, Sekdem kali ini dilakukan bersama-sama dengan INDEF School of Political Economy.
Sekolah Demokrasi kali ini membahas terkait “Tantangan Ekonomi Politik Pemerintahan Baru: Menyambut Kabinet Prabowo – Gibran”.
Pendiri INDEF, Didik J Rachbini menilai, demokrasi Indonesia saat ini brutal dengan politik uang. Oleh karena itu, para kaum intelektual harus menemukan inovasi untuk mengatasi persoalan tersebut.
“Demokrasi Indonesia yang sekarang ini brutal dengan politik uang, itu harusnya para intelektual menemukan inovasi. Jadi politik uang tuh harus dipotong, satu misalnya risetnya Prof. Ward Berenschot, diskusi dengan saya juga, saya bawa ke DPR,” ucap Didik.
Pihaknya juga mengkritik terkait adanya praktik uang mahar dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Itu uang mahar harusnya ga boleh ada, harus ditarik ke ranah ilegal, ranah kriminal. Jadi ada tukar menukar mahar untuk pencalonan itu seperti pelacuran, ga boleh ada di situ. Tapi partai kan tidak mau, karena partai dapatkan uang dari situ,” katanya.
Menurutnya, salah satu solusi untuk menghilang mahar politik ini adalah dengan cara funding partai dan inovasi.
“Solusinya funding partai harus dilakukan, kedua harus banyak inovasi, sebagai contoh walaupun merubah struktur politik, ga usah ada Pilkada. Jangan ada Pilkada, Pilkada langsung aja, misalnya di Madura atau di Mojokerto itu anggota DPRD terbanyak dari partai terbesar, langsung jadi bupati, kan tidak ada politik uang, hilang, jadi harus banyak inovasi,” bebernya.
“Jadi sekarang ini brutal sekali, harus banyak inovasi dan trackpol harus terlibat, kalau tidak saya kira ini sangat berat,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah Demokrasi LP3ES, Wijayanto mengatakan, bahwa tujuan diselenggarakannya Sekolah Demokrasi ini adalah untuk melahirkan generasi demokrat yang setia pada nilai-nilai demokrasi.
“Sekolah Demokrasi kali ini kita berharap akan melahirkan generasi demokrat yang setia pada nilai-nilai demokrasi, pada institusi demokrasi,” ucap Wijayanto dalam sambutannya, Jumat (26/7/2024).
“Kita juga berharap bahwa Sekolah Perkaderan kali ini juga bisa melahirkan para kader pemimpin muda yang mampu menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin kompleks dengan berbagai permasalahannya,” tambahnya.
Wijayanto menilai, Sekolah Demokrasi kali ini juga penting untuk lahirnya pemimpin muda dengan gagasan baru dan praktik-praktik politik baru di tengah gelombang disinformasi yang melanda dunia.
“Perubahan iklim, ancaman krisis ekonomi yang ada di dunia, penyalahgunaan AI, Cyber Crime, dan perang yang saat ini masih berlangsung tidak jauh dari sini antara Ukraina dan Rusia dan yang tetap bergejolak di Timur Tengah antara Israel dan Palestina, yang semuanya bisa mengancam masa depan umat manusia, jika kita tidak tangani dengan baik,” tuturnya.
Menurutnya, disinformasi dan hate speech inilah yang menjadi salah satu faktor membuat demokrasi mengalami kemunduran, melahirkan polarisasi politik, bahkan bisa berujung pada perang dan genosida seperti yang terjadi di Rwanda.
“UNESCO bahkan menyebut bawa disinformasi merupakan masalah yang lebih serius daripada perubahan iklim, karena gara-gara disinformasi inilah orang bisa tidak percaya pada perubahan iklim,” tandasnya.