Sementara itu, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menggelar sidang fatwa di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan KH Ahmad Dahlan pada Jumat (7/6/2024).
Dalam sidang ini, salah satu solusi yang diusulkan untuk mengatasi masalah kepadatan adalah skema murur di Muzdalifah. Skema ini dirancang untuk meminimalisir risiko bagi jamaah yang rentan.
Setelah wukuf di Arafah, jamaah akan melakukan murur di Muzdalifah dengan cara melintasi lokasi tersebut tanpa turun dari bus. Mereka tetap berada di dalam bus selama perjalanan ke Muzdalifah, dan kemudian bus akan membawa mereka langsung ke Mina.
Prinsip kedaruratan yang diangkat dalam fatwa ini mencakup situasi di mana upaya memenuhi syarat-syarat ibadah secara normal dapat menimbulkan bahaya atau kesulitan yang signifikan bagi jamaah.
Dengan fatwa ini, diharapkan pelaksanaan ibadah haji bagi jamaah Indonesia, khususnya mereka yang rentan, dapat berjalan lebih aman dan nyaman, serta tetap memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan dalam syariat Islam.
Kemudian, Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) juga memperbolehkan mabit di Muzdalifah dengan skema Murur. Keputusan Persis ini merupakan hasil dari Sidang Dewan Hisbah PP Persis terkait Persoalan Murur dan Tidak Mabit di Mina (Tanazzul) pada 10 Zulhijjah.
“Jika jemaah tidak dapat melaksanakan mabit secara sempurna di Muzdalifah melainkan hanya singgah sejenak untuk berzikir dan doa, atau hanya bisa lewat saja di kendaraan tanpa bisa turun dan singgah karena padatnya tempat atau ada alasan lain yang tidak bisa dihindarkan, maka itu kategori masyaqqoh yang menyebabkan boleh ia melakukannya dan tanpa ada kewajiban kafarah atau dam dan hajinya tetap sah,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Persis, Jeje Zaenudin, Minggu (2/6/2024).
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini