“Regulasi terkait sandang selama ini, masih berupa regulasi tercecer pada beberapa aturan perundangan-undangan, sehingga masih belum terkonsolidasi optimal secara spesifik dalam bentuk UU Sandang. Padahal, Undang-undang terkait pangan dan papan sudah ada, tapi terkait sandang masih belum ada secara spesifik. Padahal ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Salah satu contoh kasus dengan tidak adanya aturan mendasar dalam bentuk undang-undang adalah serbuan impor baik legal maupun illegal telah memukul industri pertekstilan Indonesia. Ketika itu dibiarkan maka industri tekstil yang merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa hancur.
Sementara itu, Direktur PT Gajah Duduk Lukas L Prawoto menyebut, pasar dalam negeri sekarang sedang lesu bukan karena tidak ada pembeli, melainkan para pelaku usaha lokal sama-sama membanjiri dalam negeri. Pandemik Covid-19 membuat pelaku kesulitasn ekspor sehingga mau tidak mau harus menjualnya di Indonesia.
“Karena mereka juga harus hidup makanya masuknya (jualan) ke lokal. Ini jadi persoalan karena persaingan dan banyak usaha jadi tutup,” ungkapnya.
Masalah seperti inilah yang ke depannya harus dipersiapkan antisipasi oleh pemerintah, salah satunya melalui RUU Sandang. Lukas berharap, banyaknya masukan dari pelaku usaha, akademisi, hingga pengamat tidak menguap begitu saja, tapi menjadi sesuatu yang bisa diperjuangkan bersama.
Hal senada disampaikan CEO PT Reinova, Pintor Dapot. Menurutnya, UU mengenai sandang yang bisa menjaga iklim industri TPT harus ada karena dampak dari banjir produk impor yang tidak ketat aturannya bisa membuat banyak pabrik tutup. Kondisi itu secara jangka panjang bisa membuat SDM di industri di-PHK.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini