bukamata.id – Di Aceh Singkil, sebuah kisah pilu mengguncang media sosial Indonesia. Seorang perempuan bernama Melda Safitri, akrab disapa Fitri, viral karena diceraikan suaminya tepat menjelang pelantikan sang suami sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Kisahnya menjadi simbol luka sekaligus kekuatan. Dari awal Fitri menemani sang suami berjuang dari nol, menjual sayur dan gorengan demi membantu ekonomi rumah tangga. Namun ketika suaminya resmi diterima sebagai aparatur negara, rumah tangga mereka justru berakhir dengan talak tiga.
Yang tak disangka, dari kisah yang menyayat hati itu, datang pula banjir dukungan dan simpati dari warganet, lembaga perlindungan perempuan, hingga pengusaha sukses Aceh.
Dari Nol Bersama, Berujung Talak Tiga
Fitri dan suaminya menikah pada tahun 2020. Dalam pengakuannya, ia menjadi tulang punggung keluarga saat suaminya belum bekerja tetap. Ia berjualan cabai, sayuran, dan gorengan untuk menutup kebutuhan rumah.
“Baju pelantikan itu saya yang belikan dari hasil jualan. Dia yang pesan di Shopee tapi saya yang disuruh bayar, uangnya dari hasil jual gorengan. Saya bantu dia dari nol, dari belum kerja sampai bisa lulus PPPK,” tutur Fitri lirih.
Namun, tiga hari sebelum pelantikan PPPK, pertengkaran kecil di rumah justru menjadi awal perceraian.
“Hari itu tanggal 14 Agustus, dia pulang kerja, sudah sore, terus dia marah-marah gitu, tidak ada kawan nasi (lauk) di rumah. Karena bagaimana saya harus masak nasi sedangkan apa pun tidak ada di rumah,” kenangnya.
Cekcok itu berlanjut. Fitri, yang merasa diperlakukan tidak adil, akhirnya membalas kata-kata sang suami.
“Kamu kan tidak bawa belanja, tidak ada kasih nafkah, jadi apa yang saya masak?” ujarnya dengan nada getir.
Ketika ia pergi mencuci piring, sang suami diam-diam mengemasi bajunya, meminjam sepeda motor tetangga, lalu kembali untuk menjatuhkan talak.
“Dia langsung bilang, ‘Kamu Fitri saya ceraikan satu, dua, tiga,’ lalu pergi bawa bajunya,” kata Fitri.
Tiga hari kemudian, sang suami dilantik sebagai PPPK. Fitri hanya bisa menangis menonton video pelantikan di layar ponselnya.
“Dia ceraikan saya karena mau jabatan. Padahal kami dulu berjuang bersama. Kalau memang mau cerai, kenapa tidak dari dulu?” katanya.
Viral di Media Sosial: “Istri Pejuang Baju Korpri”
Kisah Fitri pertama kali viral setelah video dirinya mengemasi barang dan menangis tersebar luas di media sosial. Dalam hitungan jam, tagar #IstriPejuangBajuKorpri dan #FitriAcehSingkil membanjiri TikTok dan Instagram.
Netizen menulis ribuan komentar penuh simpati. Banyak yang merasa tersentuh karena kisah Fitri dianggap mewakili perjuangan banyak perempuan di Indonesia.
Beberapa komentar warganet yang paling banyak dibagikan:
“Dia beli baju Korpri pakai uang hasil jual gorengan, tapi malah ditinggal pas suaminya naik jabatan. Dunia memang aneh.”
“Kita perempuan cuma minta dihargai, bukan dikasih dunia. Hargai perjuangan istri yang sudah setia dari nol.”
“Semoga Allah angkat derajat Ibu Fitri lebih tinggi dari yang menyakitinya.”
“Baju Korpri bisa dibeli, tapi hati yang sabar seperti dia nggak bisa dibeli.”
Kisah ini bukan sekadar viral karena sedih, tapi karena menggambarkan realitas pahit yang sering terjadi: ketika perempuan yang berjuang dari bawah justru ditinggalkan setelah pasangan merasa mapan.
Dari Air Mata Jadi Harapan: Banjir Dukungan untuk Fitri
Namun di tengah duka, keajaiban kecil datang. Fitri menerima banyak dukungan dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari pengusaha perempuan asal Aceh, Sheila Saukia, yang mengunjungi Fitri langsung dan memberikan bantuan modal usaha. Momen itu viral lagi di Instagram, Fitri tampak menangis haru saat menerima bantuan tersebut.
“Kita bantu bukan karena kasihan, tapi karena Ibu Fitri ini perempuan kuat. Dia tidak minta belas kasihan, dia cuma mau berdiri di kakinya sendiri,” kata Sheila dalam unggahan videonya.
Tak hanya itu, Gerakan Nasional Perlindungan Perempuan dan Anak (Germas PPA) juga turun tangan. Wakil Ketua Umum Germas PPA, Rica Parlina, menyatakan siap mendampingi Fitri secara hukum dan psikologis.
“Kami ingin memastikan Ibu Fitri dan anak-anaknya mendapatkan keadilan dan perlindungan. Tidak boleh ada lagi perempuan yang ditinggalkan setelah berjuang dari nol hanya karena pasangan merasa sudah mapan,” ujar Rica.
Dukungan juga datang dari masyarakat sekitar Aceh Singkil, yang sering datang membeli gorengan Fitri lebih banyak sekadar untuk memberi semangat.
Respons Pemerintah: Bupati Turun Tangan, Pemecatan Masih Dikaji
Tekanan publik yang luar biasa membuat Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil ikut angkat bicara. Bupati Safriadi Oyon disebut telah memanggil pihak terkait dan sedang mempelajari kemungkinan pelanggaran disiplin yang dilakukan sang suami sebagai aparatur PPPK.
Namun hingga kini, belum ada keputusan resmi tentang pemecatan. Dalam regulasi kepegawaian, PPPK tidak secara otomatis diberhentikan karena masalah rumah tangga, kecuali terbukti melanggar etika berat atau hukum.
Sementara kabar bahwa sang suami menyesal dan ingin kembali ke rumah belum dikonfirmasi oleh pihak manapun. Beberapa akun media sosial sempat mengklaim hal itu, tetapi tidak ada pernyataan resmi dari keluarga maupun pemerintah daerah.
Fitri Kini: Kuat, Mandiri, dan Dikelilingi Cinta Baru
Dua bulan setelah diceraikan, Fitri masih bertahan hidup dengan berjualan gorengan seribu rupiah di depan rumahnya. Namun kini ia tak sendiri. Setiap hari ada warga yang datang sekadar membeli, memberi pelukan, atau menyumbang.
“Saya tidak malu. Saya cuma ingin dihargai. Saya bukan istri yang minta lebih, saya cuma ingin dihormati sebagai perempuan yang sudah berjuang,” katanya tegas.
Kisah Fitri kini telah melampaui status “korban”. Ia menjadi simbol keteguhan perempuan yang tersakiti namun tak menyerah. Dukungan publik membuktikan bahwa solidaritas bisa mengubah air mata menjadi kekuatan.
Penutup
Kisah Melda Safitri adalah potret getir dari cinta, kesetiaan, dan harga diri seorang perempuan. Ia diceraikan saat suaminya naik pangkat, tapi justru menemukan kembali kekuatannya lewat simpati publik.
Dalam budaya Aceh yang menjunjung tinggi martabat perempuan dan nilai keadilan, dukungan masyarakat terhadap Fitri bukan sekadar empati — melainkan pernyataan moral: bahwa perjuangan seorang istri tidak boleh dibayar dengan pengkhianatan.
Kini, Fitri berdiri tegak. Ia tidak menatap ke belakang, melainkan ke depan. Dari jualan kecil di depan rumahnya, dari senyum anak-anaknya, dari uluran tangan orang-orang yang peduli.
Dan di sanalah, kisah Fitri berubah dari tragedi menjadi inspirasi.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










