bukamata.id – Dunia pendidikan di Banten tengah diguncang oleh kasus yang bermula dari tindakan indisipliner sederhana: seorang siswa merokok di sekolah.
Namun, insiden kecil itu berkembang menjadi gejolak besar yang mengguncang SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, memunculkan reaksi emosional, gelombang protes siswa, hingga keputusan politik di tingkat provinsi.
Kasus ini bukan sekadar persoalan antara guru dan murid. Ia menyingkap rapuhnya komunikasi dalam lingkungan pendidikan, gesekan antara disiplin dan kekerasan, serta bahaya reaksi instan di era digital.
Pemicu Awal: Tamparan di Tengah “Jumat Bersih”
Kejadian bermula pada Jumat, 16 Oktober 2025. Seorang siswa SMAN 1 Cimarga tertangkap merokok di area kantin saat kegiatan Jumat Bersih berlangsung.
Kepala sekolah, Dini Fitria, menegur secara spontan karena merasa kecewa pada sikap siswa yang tidak jujur saat ditegur.
“Saya kecewa bukan karena dia merokok, tapi karena tidak jujur. Saya spontan menegur dengan keras, bahkan sempat memukul pelan karena menahan emosi,” kata Dini saat dikonfirmasi.
Namun, aksi spontan itu menyebar cepat di media sosial. Narasi pun berkembang liar, dari sekadar teguran menjadi tuduhan kekerasan fisik.
Orangtua siswa, Tri Indah Alesti, kemudian melaporkan Dini ke Polres Lebak atas dugaan kekerasan terhadap anak. Polisi pun membenarkan laporan tersebut.
“Betul, ada laporan terkait kekerasan fisik,” ujar Ipda Limbong, Kanit PPA Satreskrim Polres Lebak.
Gelombang Reaksi: Dari Siswa Mogok Sekolah hingga Gubernur Turun Tangan
Kasus ini dengan cepat menjalar ke ranah publik. Lebih dari 600 siswa melakukan aksi mogok sekolah sebagai bentuk protes terhadap tindakan kepala sekolah.
Aksi tersebut bahkan viral dengan spanduk bertuliskan “Kami tidak akan sekolah sebelum kepsek dilengserkan.”
Pemerintah Provinsi Banten segera turun tangan. Gubernur Andra Soni memutuskan untuk menonaktifkan sementara Kepala SMAN 1 Cimarga, sambil menunggu hasil penyelidikan.
Sekretaris Daerah (Sekda) Banten, Deden Apriandhi, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah meninjau video kejadian dan memerintahkan pemanggilan para saksi.
“Kalau memang terbukti ada kekerasan, bisa jadi sanksinya pemberhentian,” tegas Deden.
“Namun untuk menstabilkan suasana, sementara yang bersangkutan kami nonaktifkan dulu.”
Jalan Damai: Gubernur Mediasi, Guru dan Siswa Saling Memaafkan
Di tengah derasnya tekanan publik, Gubernur Andra Soni mempertemukan Dini Fitria dengan sang siswa, Indra, di Pendopo KP3B Serang, Rabu (15/10/2025).
Pertemuan berlangsung hangat dan berakhir dengan saling memaafkan.
“Saya minta maaf atas kesalahan saya,” ujar Indra.
“Ibu juga minta maaf atas kata-kata ibu. Semoga Indra ikhlas dan sukses,” balas Dini.
Suasana pun mencair. Dini mengaku lega bisa menyelesaikan persoalan dengan cara damai dan berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bersama.
Pakar Pendidikan: Semua Pihak Reaktif dan Kehilangan Kendali
Kasus SMAN 1 Cimarga turut menarik perhatian Pakar Pendidikan, Bukik Setiawan. Menurutnya, seluruh pihak dalam kasus ini menunjukkan reaksi emosional tanpa refleksi.
“Kepala sekolah reaktif, murid reaktif, orangtua pun reaktif. Semua bertindak instan tanpa dialog,” ujar Bukik.
“Ini menunjukkan dua kesalahan besar: pelanggaran hak anak dan kegagalan kepemimpinan adaptif,” tambahnya.
Bukik menilai, viralnya kasus ini mencerminkan masa transisi pendidikan Indonesia yang masih bergulat antara budaya disiplin keras dan pendekatan humanis.
Putaran Balik: Kepala Sekolah Dapat Hadiah Umrah
Ironisnya, setelah badai kritik, simpati publik justru mengalir deras kepada Dini. Banyak masyarakat menilai tindakannya adalah bentuk refleks spontan dari seorang pendidik yang peduli disiplin.
Dini pun mendapat hadiah umrah gratis dari Pondok Pesantren Daarul Shafa, Depok sebagai bentuk dukungan moral.
“Ustaz Lancip menyampaikan kabar itu langsung. Saya sangat bersyukur atas perhatian dan doa masyarakat,” ujar Dini.
Ancaman Baru: Seruan Blacklist Lulusan SMAN 1 Cimarga
Namun, kasus ini belum sepenuhnya reda. Seruan boikot muncul di media sosial, beberapa warganet menyerukan agar lulusan SMAN 1 Cimarga di-blacklist oleh HRD perusahaan.
Seruan ini dinilai berbahaya karena mengancam masa depan ratusan siswa yang tidak terlibat langsung.
Pakar etika digital menilai seruan tersebut sebagai bentuk digital bullying dan pelanggaran prinsip keadilan sosial. Jejak digital yang viral dikhawatirkan berdampak panjang terhadap reputasi siswa maupun sekolah.
Krisis Kepemimpinan dan Literasi Emosional di Sekolah
Kasus SMAN 1 Cimarga menunjukkan bahwa dunia pendidikan bukan sekadar soal akademik, tetapi juga ruang emosi dan karakter.
Dari peristiwa ini, ada tiga pelajaran penting yang dapat diambil:
- Disiplin Tanpa Kekerasan: Teguran bisa tegas tanpa harus menyakiti fisik maupun perasaan siswa.
- Dialog Lebih Penting dari Reaksi: Komunikasi terbuka mencegah konflik melebar menjadi krisis publik.
- Literasi Digital & Emosi: Di era viral, satu tindakan bisa berdampak nasional. Guru, siswa, dan orangtua harus belajar mengelola emosi dan media.
Kasus Cimarga adalah cermin bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang belajar menghadapi diri sendiri.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










