UAH juga memberi contoh lain, seperti memakan daging unta setelah berwudhu. Menurutnya, ada pendapat ulama yang menyatakan bahwa hal ini bisa membatalkan wudhu, tergantung pada kondisi spesifik, seperti cara masak yang menghasilkan bau kuat. Namun, jika bau tersebut tidak ada atau sudah diminimalkan, hal ini tidak mempengaruhi keabsahan wudhu.
UAH juga menekankan pentingnya menjaga kebersihan mulut dengan membersihkan gigi atau berkumur sebelum sholat.
Kembali pada masalah mengusap atau mengelap air wudhu, UAH menegaskan bahwa ini diperbolehkan dan dalam beberapa situasi bisa menjadi kebutuhan yang kondisional.
“Misalnya, jika Anda harus masuk ke ruangan untuk menghadiri rapat, mengelap air wudhu yang masih menempel di tubuh sangat diperbolehkan agar sesuai dengan kondisi,” ujar UAH.
UAH juga membahas pandangan sebagian orang yang memilih untuk membiarkan air wudhu meresap sebagai bentuk spiritualitas. Menurutnya, hal ini tidak memiliki dasar hukum syariat yang kuat dan lebih bersifat simbolis.
“Namun, keutamaan wudhu terletak pada hikmah dan dampak positif yang dihasilkan, baik secara fisik maupun spiritual,” katanya.
Wudhu, menurut UAH, memberikan dampak positif yang melahirkan kebersihan lahir dan batin.
“Wudhu memberikan cahaya atau aura kebaikan. Ini yang kemudian disebut sebagai cahaya yang akan menerangi di hari kiamat,” ungkapnya.
Cahaya ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencerminkan kebaikan yang terpancar dari kebersihan hati dan perbuatan yang baik.
Menurut UAH, wudhu juga memiliki makna simbolis sebagai bentuk persiapan untuk menghadapi Allah dalam ibadah. Kebersihan fisik menjadi salah satu cara untuk menciptakan suasana batin yang tenang dan khusyuk.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini