bukamata.id – Unjuk rasa di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Kamis (4/9/2025), berlangsung dengan cara yang tak lazim. Jika biasanya demonstrasi identik dengan aksi bakar ban, kali ini massa justru melemparkan sampah ke gerbang utama sebagai bentuk simbolik kekecewaan terhadap wakil rakyat.
Koordinator aksi, Angga, menjelaskan bahwa ide menggunakan sampah sebagai simbol muncul dari keresahan warga kampung kota Bandung yang merasa suaranya tak pernah didengar.
“Ini merupakan aksi responsif, tadi malam kita koordinasi dengan beberapa titik warga di kampung kota Bandung yang berlawan. Ada Dagoelos, Taman Sari Bersatu, Cipedas Melawan, Sukahaji Melawan, serta kawan-kawan di Rakyat Anti Penggusuran,” ujar Angga.
Tema aksi pun sengaja dibuat satir: Buang Sampah pada Tempatnya. Menurut Angga, makna simbolik itu jelas—DPRD dianggap tak ubahnya sampah lantaran tak bergeming melihat penderitaan rakyat.
“Demonstrasi di depan DPRD pun akhirnya kebanyakan masih sebatas simbolis. Maka warga menilai tempat ini selayaknya adalah tempat sampah. Apa bedanya mereka (dewan) dengan sampah, ketika tidak bergeming melihat rakyat menderita?” tegasnya.
Kritik Gubernur: Kontraproduktif
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, angkat bicara soal aksi yang ramai jadi sorotan karena menggunakan sampah. Ia menegaskan bahwa menyampaikan kritik adalah hak warga, namun cara melemparkan sampah dianggap tidak tepat.
“Saya sampaikan pada emak-emak yang kemarin ngelemparin gedung DPRD dengan sampah. Aduh, menyampaikan pendapatnya setuju nggak apa-apa, mendukung karena itu kebebasan dalam setiap orang dalam berdemokrasi menyampaikan kritik terbuka kepada penyelenggara negara,” kata Dedi dikutip dari unggahan Instagram pribadinya @dedimulyadi71, Jumat (5/9/2025).
Namun Dedi menyayangkan, sebab gedung DPRD itu baru sehari sebelumnya dibersihkan oleh komunitas pengemudi ojek online.
“Itu gedungnya sudah dibersihkan oleh teman-teman ojol. Jadi kalau teman-teman ojol sudah membersihkan gedung DPRD, sudah mengecatnya, sudah merapihkannya, tiba-tiba emak dan akang-akang, teteh-teteh melempari dengan sampah, perasaan nggak tepat deh. Tidak mencerminkan spirit orang Jawa Barat,” ujarnya.
Dedi mengingatkan agar ke depan, kritik tetap bisa disampaikan secara terbuka, tapi tanpa merusak hasil kerja orang lain. “Nanti jangan sudah bersih kemudian baru berdemo, melempari sampah, nambah kerjaan lagi,” katanya.
Sampah Jadi Bahasa Politik
Aksi ini memperlihatkan bentuk perlawanan yang berbeda dari biasanya. Sampah digunakan bukan sekadar sebagai benda buangan, tetapi sebagai bahasa politik untuk menyampaikan pesan: wakil rakyat yang dianggap tak berguna, diperlakukan setara dengan sampah.
Langkah simbolik itu sekaligus memperlihatkan kreativitas baru dalam tradisi demonstrasi di Indonesia—jarang ada massa aksi yang memilih “sampah” sebagai senjata protes ketimbang nyala api atau ban terbakar.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










