bukamata.id – Warga Jawa Barat, khususnya Bandung dan sekitarnya, mungkin sudah akrab dengan nama Sesar Lembang. Patahan ini membentang hampir 29 kilometer, dari Padalarang hingga kawasan Cimenyan, tepat di kaki Gunung Tangkuban Parahu. Namun, sesar ini bukan sekadar garis di peta, melainkan bagian dari sistem geologi aktif yang nyata keberadaannya.
Periset bidang Geologi Gempa Bumi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mudrik R. Daryono, menjelaskan bahwa Sesar Lembang adalah patahan besar di kerak bumi yang menjadi jalur pergeseran batuan. Pergeseran ini didominasi arah mendatar ke kiri, sehingga bagian utara dan selatan bergerak saling berlawanan.
“Bukti nyata bisa dilihat dari pergeseran Sungai Cimeta yang telah bergeser sejauh 120 meter, bahkan di beberapa lokasi mencapai 460 meter,” ujar Mudrik, Minggu (27/9/2025).
Baca Juga: Pemkot Bandung Resmi Bentuk BPBD 2025, Waspadai Ancaman Sesar Lembang
Selain pergeseran mendatar, terdapat juga pergeseran naik-turun permukaan tanah. Di bagian barat, mulai dari Km 0 sampai Km 6, permukaannya relatif datar. Namun, sebelum kembali mengecil ke arah timur, perbedaan tinggi tanah bisa mencapai sekitar 90 meter.
“Secara keseluruhan, pergeseran di Sesar Lembang hampir seluruhnya didominasi oleh pergeseran mendatar, yaitu sekitar 80 sampai 100%. Sedangkan pergeseran naik-turun hanya sekitar 0 sampai 20%,” ungkap Mudrik.
Bergerak 3,4 Milimeter per Tahun
Hasil penelitian terbaru menunjukkan Sesar Lembang bergerak sekitar 1,9 hingga 3,4 milimeter per tahun. Meski tampak kecil, pergeseran ini yang berlangsung ratusan tahun berpotensi memicu gempa bumi.
“Hal ini terbukti dari hasil penelitian paleoseismologi melalui penggalian parit di kilometer 11,5, yang menemukan adanya pergeseran setinggi 40 sentimeter. Bagian selatan sesar terangkat dibanding sisi utara. Pergeseran sebesar itu menjadi bukti nyata bahwa di masa lalu pernah terjadi gempa dengan kekuatan magnitudo 6,5 hingga 7,” jelas Mudrik.
Jejak gempa purba menunjukkan Sesar Lembang pernah memicu beberapa gempa besar. Peristiwa paling muda terjadi pada abad ke-15, sementara sebelumnya tercatat gempa sekitar 60 tahun sebelum Masehi. Jejak gempa paling tua bahkan tercatat sekitar 19 ribu tahun lalu. Berdasarkan catatan ini, para ahli memperkirakan gempa besar berulang setiap 170 hingga 670 tahun.
Baca Juga: Bandung di Atas Retakan, Urgensi Siaga Hadapi Sesar Lembang
“Jika mengacu pada siklus ulang gempa besar yang telah diperkirakan, maka secara teoritis gempa besar berikutnya dapat terjadi paling lambat sekitar tahun 2170. Artinya, secara waktu, perkiraan siklus ini sudah relatif dekat dengan masa sekarang,” sebut Mudrik. Namun, ia menekankan bahwa ini hanyalah gambaran rentang waktu, bukan kepastian.
Gunung Batu di Lembang Naik 40 Cm
Salah satu bukti morfologi jalur sesar terlihat di Gunung Batu, Lembang, tepat di kilometer 17. Baru-baru ini, muncul kabar Gunung Batu semakin meninggi. Mudrik menegaskan bahwa kenaikan permukaan tanah hingga 40 cm dapat terjadi saat gempa.
“Gunung Batu bisa naik hingga 40 Cm dalam sekali kejadian gempa. Dan naik atau gesernya ini akan menghasilkan gempa bumi,” jelasnya.
Gempa-gempa kecil yang tercatat akhir-akhir ini di sekitar Bandung, terutama di segmen Cimeta dan Sesar Kertasari, merupakan fenomena lumrah. Gempa kecil ini bisa menjadi pelepasan energi sesar dalam skala kecil atau bagian dari proses yang kelak diikuti gempa lebih besar.
Baca Juga: Potensi Gempa Sesar Lembang 6,5-7 Magnitudo, BMKG Ungkap Wilayah yang Terdampak Signifikan
“Hingga saat ini, ilmu kebumian belum mampu memprediksi dengan pasti skenario mana yang akan terjadi. Karena itulah, sikap paling bijak yang bisa dilakukan adalah tetap waspada dan menyiapkan langkah mitigasi sejak dini,” tambah Mudrik.
BRIN, bersama BMKG, BPBD, dan pemerintah daerah, terus melakukan riset, pemetaan, dan edukasi publik terkait Sesar Lembang. Tujuannya bukan menimbulkan kepanikan, melainkan meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Dengan riset berkelanjutan dan pemahaman yang lebih baik, Bandung dan Jawa Barat dapat menjadi wilayah yang lebih tangguh menghadapi potensi bencana.