bukamata.id – Di tengah hiruk pikuk persaingan geopolitik antariksa yang kian memanas, Indonesia didesak untuk segera merumuskan strategi nasional yang tak hanya fokus pada teknologi, tetapi juga mengedepankan kepentingan jangka panjang bangsa. Hal ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Mewujudkan Kemandirian Antariksa Indonesia di Tengah Rivalitas Global” yang diselenggarakan oleh Center for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI, Selasa (27/5/2025), yang menghadirkan berbagai pakar lintas sektor.
Diskusi yang dihadiri tokoh-tokoh nasional dari parlemen, kementerian/lembaga, militer, akademisi, hingga media ini dibuka oleh Dekan FISIP UI, Prof. Semiarto Aji Sumiarto, yang menekankan urgensi pembahasan isu strategis ini. Bertindak sebagai keynote speaker, Prof. Thomas Djamaluddin dari BRIN (mantan Kepala LAPAN) menegaskan bahwa penguasaan teknologi antariksa adalah syarat mutlak kedaulatan dan daya saing bangsa.
“Indonesia, yang telah merintis perjalanan keantariksaan sejak 1960-an dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang meluncurkan satelit secara mandiri, kini menghadapi tantangan besar berupa lemahnya tata kelola program antariksa, terbatasnya pendanaan, serta belum solidnya arah kebijakan pasca integrasi LAPAN ke dalam BRIN,” ujar Prof. Djamaluddin. Ia menambahkan, Indonesia berisiko tertinggal jika tak segera mengakselerasi langkah strategis untuk bertransformasi dari sekadar pengguna menjadi produsen aktif dalam space economy global yang kian menggiurkan.
Senada dengan itu, Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim menekankan bahwa ruang antariksa kini adalah domain strategis setara darat, laut, dan udara, dengan implikasi langsung pada pertahanan, ekonomi, dan kedaulatan. Di tengah rivalitas global dan militerisasi orbit, Indonesia tak bisa lagi pasif. Ia mengusulkan revitalisasi Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional sebagai wadah koordinasi lintas sektor. “Saatnya berpikir strategis, bertindak terpadu,” tegasnya, mengingatkan potensi kegagalan pengelolaan di antariksa serupa kasus FIR jika tanpa koordinasi yang solid.
Dari Asosiasi Antariksa Indonesia, Anggarini S., M.B.A., menyoroti ketergantungan Indonesia pada negara lain dalam hal akses data, teknologi, dan peluncuran satelit. Ia menekankan bahwa kemandirian antariksa adalah prasyarat ketahanan nasional dan kesejahteraan, terutama untuk layanan publik di daerah terpencil, mitigasi bencana, dan perlindungan perbatasan. Anggarini menyerukan pembangunan ekosistem antariksa nasional yang utuh dan mengejar konstelasi satelit LEO sebagai tulang punggung space economy.
“Teknologi antariksa adalah solusi teknologi yang cost effective bagi negara kepulauan seperti Indonesia sehingga perlu dukungan aktif dan kejelasan regulasi dari pemerintah,” tegasnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dr. Dave Laksono, mengakui bahwa penguasaan antariksa adalah indikator kekuatan geopolitik dan ekonomi global. Ia menyatakan DPR RI memandang antariksa sebagai pilar strategis ketahanan nasional dan mendorong RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional (PRUN) sebagai langkah awal menuju tata kelola antariksa yang berdaulat.
“Oleh sebab itu, secara politis sektor ini memang belum menjadi perhatian khusus karena tangible effects-nya tidak terlalu terlihat oleh masyarakat sehingga menyebabkan minimnya kebijakan prioritas negara terhadap pembangunan kemandirian ruang angkasa,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Transmisi, Ketenagalistrikan, Kedirgantaraan, dan Antariksa Kedeputian Bidang Infrastruktur di Kementerian PPN/Bappenas, Yusuf Suryanto menekankan bahwa kemandirian antariksa butuh kerangka pembiayaan kuat, kelembagaan adaptif, dan strategi lintas sektor yang konsisten. Ia mengakui investasi antariksa Indonesia masih tertinggal meski memiliki posisi geografis strategis.
“Meski berada di posisi geografis strategis, investasi antariksa Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga. Dalam kerangka RPJPN 2025–2045, antariksa telah masuk proyek strategis nasional, namun implementasinya menuntut kolaborasi lintas aktor, koordinasi pembangunan yang terpadu, dan keberpihakan fiskal yang nyata. Tanpa itu, Indonesia akan terus tertinggal dalam kompetisi ekonomi antariksa global,” jelasnya.
Sorotan kritis juga datang dari peserta. Mahasiswa Unhan mempertanyakan kurangnya dukungan politik pemerintah, yang diakui oleh Dr. Dave Laksono karena efek sektor antariksa tak langsung terasa seperti pendidikan dan kesehatan. Namun, Arif Nurhakim dari Pusat Riset Teknologi Roket memberikan sinyal positif mengenai potensi keberlanjutan Badan Antariksa dalam waktu dekat.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa Indonesia harus segera bertindak dan menyusun strategi antariksa nasional yang komprehensif agar tidak hanya menjadi penonton dalam perlombaan antariksa global. Tanpa aksi nyata dan komitmen kuat, mimpi menjadi pemain aktif dalam space economy hanya akan menjadi angan-angan di orbit yang tak pasti.