bukamata.id – Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Zaini Shofari, menyoroti kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait peluncuran Gerakan Rereongan Poe Ibu atau dikenal juga dengan nama Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu.
Program yang resmi dicanangkan pada 1 Oktober 2025 itu dinilai Zaini terkesan dipaksakan atas nama kesetiakawanan sosial, terutama karena melibatkan ASN, pelajar, dan masyarakat umum untuk menyisihkan uang seribu rupiah per hari.
Soroti Potensi Pungutan di Sekolah
Menurut Zaini, kebijakan tersebut bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat, terutama di sektor pendidikan. Ia menilai, ajakan menyumbang dari pelajar berpotensi menyerupai pungutan yang sejatinya dilarang di sekolah.
“Kalau ASN tentu akan mengikuti arahan atasannya, yaitu gubernur. Tapi kalau bicara siswa, setiap bentuk pungutan di sekolah itu dilarang. Sekarang malah diajarkan dan dilegalkan seolah itu bentuk solidaritas,” ujarnya, Minggu (5/10/2025).
Zaini menegaskan, langkah tersebut bisa menimbulkan inkonsistensi kebijakan pemerintah.
“Di satu sisi pemerintah melarang pungutan, tapi di sisi lain justru menginisiasi pengumpulan dana yang sifatnya serupa,” katanya.
Inkonsistensi Bantuan Sosial dan Keagamaan
Politikus PPP itu juga menyoroti kebijakan Pemprov Jawa Barat dalam hal bantuan sosial dan keagamaan yang dinilainya tidak konsisten.
“Contohnya, masyarakat yang di pinggir jalan minta sumbangan untuk kegiatan keagamaan itu dilarang, tapi pemerintah tidak memberikan solusi. Bantuan untuk pesantren, majelis, atau lembaga keagamaan malah jadi nol,” tegasnya.
Ia menambahkan, semangat gotong royong sejatinya sudah menjadi tradisi masyarakat tanpa perlu dilembagakan melalui program pemerintah.
“Masyarakat dari dulu sudah punya tradisi rereongan. Kalau ada tetangga sakit atau kesulitan, pasti dibantu. Jangan direduksi seolah solidaritas sosial hanya bisa berjalan karena program pemerintah,” ujarnya.
Dasar Hukum Dinilai Tak Tepat
Lebih lanjut, Zaini menilai program Gerakan Rereongan Poe Ibu memang mengacu pada PP Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Namun, menurutnya, pelaksanaan di lapangan justru bertentangan dengan aturan lain, khususnya di sektor pendidikan.
“Gubernur menabrak ketentuan tentang rombongan belajar dalam Permendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023, yang jumlah siswanya maksimal 50 orang. Pola seperti ini tidak mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik,” ujarnya.
Zaini juga mengingatkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengumpulan dana sosial tidak boleh dijadikan alasan untuk menutupi lemahnya kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan publik.
“Pajak sudah masyarakat bayarkan. Jangan dengan dalih banyak warga butuh bantuan lalu dijadikan dasar seolah ini bagian dari kesetiakawanan sosial,” tandasnya.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










