bukamata.id – Pemerintah Provinsi Jawa Barat menghadapi tantangan dalam capaian kinerja keuangan di pertengahan tahun 2025. Di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi, provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia ini tergeser ke posisi ketiga secara nasional dalam hal realisasi pendapatan dan belanja daerah.
Sorotan ini datang langsung dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Senin (7/7/2025), yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemendagri.
“Dulu Jawa Barat nomor satu, sekarang Kang Dedi Mulyadi (KDM) kalah sama Ngarso Dalem Sri Sultan. Dan Pak Lalu Iqbal dari NTB sekarang di atas Jawa Barat,” ujar Tito, dikutip Rabu (9/7/2025).
Menurut data Kemendagri, hingga Juni 2025, Jawa Barat mencatat realisasi pendapatan sebesar 44,72 persen dan realisasi belanja 38,79 persen. Meski tetap tinggi secara nasional, capaian ini belum mampu mempertahankan dominasi yang sebelumnya diraih Jabar dalam pengelolaan anggaran.
Kewajiban Masa Lalu Membayangi Anggaran
Menanggapi hal ini, Gubernur Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa beban utang masa lalu menjadi penyebab utama terkurasnya kapasitas fiskal daerah.
“Banyak yang tanya, berapa anggaran Jabar tahun ini? Rp31 triliun. Tapi jangan dikira semuanya bisa dipakai. Kami harus bayar dulu utang PEN, BPJS, operasional Kertajati, sampai Masjid Al Jabbar,” ungkap Dedi melalui unggahan Instagram-nya, Kamis (10/7/2025).
Ia juga menambahkan bahwa sekitar sepertiga dari APBD tidak bisa digunakan untuk program baru karena tersedot ke berbagai kewajiban, termasuk masalah sosial seperti ijazah siswa swasta yang tertahan akibat tunggakan.
“Uangnya terbatas, tapi kebutuhan rakyat tetap harus dilayani. Jalan harus bagus, bencana harus ditangani, anak sekolah harus bisa lanjut, santri tetap dapat beasiswa. Itu komitmen saya,” tegasnya.
Sekda Jabar Bantah Isu Penurunan Drastis
Di tengah perdebatan publik, Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, meluruskan kabar yang menyebutkan bahwa kinerja APBD Jabar anjlok drastis. Ia menyebut informasi itu sebagai hoaks yang marak di media sosial.
“Warga Jawa Barat itu istimewa, aya-aya wae, hoaks muncul di beranda media sosial seolah-olah belanja APBD Jabar merosot, pendapatan anjlok. Itu tidak benar, alias kabar bohong,” tegasnya di akun Instagram @hermansuryatman.
Herman menyebut realisasi belanja Jabar per 4 Juli 2025 mencapai 38,79 persen—jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 31,81 persen. Menurutnya, posisi ketiga nasional tetap menjadi prestasi yang layak diapresiasi.
“Memang bulan ini DIY dan NTB berada di atas kita. Tapi tidak terlalu jauh. Kita masih top tiga nasional,” imbuhnya.
Pandangan Ekonom: Penurunan Tak Bisa Ditepis
Namun, narasi positif dari Pemprov Jabar mendapat catatan kritis dari Ekonom Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi, yang menegaskan bahwa penurunan kinerja memang nyata.
“Saya melihat memang ada dampak perubahan kebijakan fiskal dan politik anggaran. Belanja infrastruktur meningkat, tapi proses lelang dan persiapan yang tidak cepat membuat penyerapan belanja agak lambat,” kata Acuviarta kepada bukamata.id, Kamis (10/7/2025).
Ia juga menyoroti dampak kebijakan yang dinilai mengganggu aktivitas ekonomi, termasuk pembebasan pajak kendaraan bermotor yang dinilai melemahkan kepatuhan pajak.
“Tidak adanya aktivitas dinas luar, kunjungan sekolah, studi banding—itu berdampak. Pembebasan pajak kendaraan seharusnya untuk yang patuh bayar, bukan yang menunggak,” tegasnya.
Menurutnya, serba-serbi kebijakan tersebut berkontribusi terhadap pelemahan ekonomi, baik dari sisi mikro maupun makro. Sektor seperti ekspor dan usaha kecil pun turut terdampak.
Saran Kebijakan: Percepat Lelang dan Diversifikasi Penerimaan
Meski demikian, Acuviarta tetap melihat bahwa realisasi anggaran Jabar “masih berada di jalur yang benar” meskipun di bawah persentase tahun-tahun sebelumnya.
“Dibutuhkan percepatan yang lebih agresif, terutama terkait proses lelang atau pengadaan barang dan jasa,” jelasnya.
Ia menyarankan agar Pemprov Jabar tidak hanya mengandalkan pajak kendaraan, melainkan mengoptimalkan sektor lain seperti pajak air permukaan dan bahan bakar minyak.
Selain itu, implementasi Perpres No. 1 Tahun 2025 dinilai turut berpengaruh pada ritme belanja karena mendorong efisiensi dan realokasi anggaran.
“Pak Gubernur KDM sudah melakukan pembaharuan kebijakan fiskal, tapi implementasinya butuh waktu transisi,” pungkasnya.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










