bukamata.id – Munir Said Thalib dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) yang tak kenal kompromi. Ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Namun, perjalanan panjang perjuangannya terhenti tragis pada 7 September 2004, ketika ia meninggal dalam penerbangan Garuda Indonesia GA 974 rute Jakarta–Amsterdam.
Hari itu, Munir berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi. Pesawat yang ditumpanginya sempat transit di Bandara Changi, Singapura, sekitar pukul 00.40 WIB. Ia sempat terlihat duduk di Coffee Bean sebelum kembali melanjutkan penerbangan ke Amsterdam pukul 01.50 WIB.
Beberapa jam setelah pesawat lepas landas, Munir mengalami sakit perut hebat hingga bolak-balik ke toilet. Kru akhirnya memindahkannya dari kursi 40G ke kursi 1J agar mendapat perawatan lebih intensif. Padahal, ia berangkat dalam kondisi sehat. Ketika pesawat tiba di Bandara Schiphol, Belanda, pukul 10.00 waktu setempat, otoritas bandara segera melakukan pemeriksaan ketat dan melarang seluruh penumpang turun sampai investigasi awal selesai.
Hasil autopsi dari Institut Forensik Belanda (NFI) kemudian menemukan jejak racun arsenik dalam tubuh Munir, yang menguatkan dugaan bahwa ia menjadi korban pembunuhan. Jenazahnya dibawa kembali ke Indonesia pada 12 September 2004 untuk dimakamkan.
Upaya Pengusutan yang Berliku
Istri Munir, Suciwati, sempat meminta otopsi ulang ke Mabes Polri, namun ditolak. Tekanan publik yang semakin besar mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) pada 23 Desember 2004. Tim ini menilai penyelidikan kepolisian terlalu lamban serta menuding pihak Garuda Indonesia tidak transparan.
TPF menemukan adanya indikasi pemalsuan surat tugas pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang saat itu ikut dalam penerbangan. Pollycarpus akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara pada 20 Desember 2005. Sementara itu, Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan divonis satu tahun penjara karena menempatkan Pollycarpus sebagai extra crew di penerbangan Munir.
Meski demikian, dugaan keterlibatan pejabat Garuda maupun Badan Intelijen Negara (BIN) tidak pernah benar-benar terbukti di pengadilan. Hingga kini, kasus tersebut dinilai tidak tuntas.
Janji yang Tak Pernah Usai
Di era pemerintahan Joko Widodo, janji untuk menuntaskan kasus Munir kembali digaungkan. Namun, hingga dua periode kepemimpinannya berakhir, kebenaran tetap belum terungkap. Kini, di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, harapan keluarga dan aktivis HAM semakin menipis.
Komnas HAM saat ini melanjutkan penyelidikan melalui tim ad hoc untuk menentukan apakah kasus Munir dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat. Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyebut pihaknya sudah memeriksa sejumlah saksi dari kalangan aktivis, maskapai Garuda, hingga aparat penegak hukum. Hasil penyelidikan tersebut nantinya akan diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Aksi Mengenang Munir
Dua puluh satu tahun setelah kepergiannya, kasus Munir tetap menjadi luka terbuka. Pada 4 September 2025, Suciwati bersama ratusan massa kembali menggelar Aksi Kamisan ke-876 di depan Istana Merdeka, Jakarta. Dengan berpakaian hitam, mereka mengangkat spanduk dan poster bertuliskan tuntutan agar negara segera menuntaskan kasus pembunuhan Munir.
“Peringatan ini bukan hanya mengenang, tapi juga mengingatkan publik bahwa negara belum menyelesaikan kasus ini,” tegas Suciwati. Ia juga menilai, pergantian presiden dari waktu ke waktu tidak membawa perubahan nyata.
Selain mengenang Munir, aksi tersebut juga menyoroti kondisi HAM terkini, termasuk kasus tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terlindas kendaraan taktis Brimob. Menurut Suciwati, situasi HAM di Indonesia masih jauh dari kata membaik.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










