bukamata.id – Penurunan kinerja keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat di pertengahan 2025 menuai perhatian nasional. Meski masih berada di tiga besar secara nasional, posisi Jabar yang biasa bertengger di puncak kini tergeser oleh DIY dan NTB. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan menyoroti langsung kinerja fiskal ini dalam rapat koordinasi nasional, Senin (7/7/2025).
“Dulu Jawa Barat nomor satu, sekarang Kang Dedi Mulyadi (KDM) kalah sama Ngarso Dalem Sri Sultan. Dan Pak Lalu Iqbal dari NTB sekarang di atas Jawa Barat,” ujar Tito dalam pernyataan yang disiarkan di kanal YouTube Kemendagri.
Data Kemendagri per Juni 2025 menunjukkan realisasi pendapatan Jawa Barat sebesar 44,72 persen dan belanja 38,79 persen. Di sisi lain, Yogyakarta unggul dengan pendapatan 57,43 persen dan belanja 41,92 persen, diikuti NTB dengan pendapatan 46,26 persen dan belanja 38,99 persen.
Namun, Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, membantah keras isu bahwa kondisi fiskal Jabar mengalami kemerosotan tajam.
“Warga Jawa Barat itu istimewa, aya-aya wae, hoaks muncul di beranda media sosial seolah-olah belanja APBD Jabar merosot, pendapatan anjlok. Itu tidak benar, alias kabar bohong,” tegas Herman melalui Instagram pribadinya, Kamis (10/7/2025).
Ia juga menyebut bahwa posisi ketiga nasional masih layak diapresiasi. “Memang bulan ini DIY dan NTB berada di atas kita. Tapi tidak terlalu jauh. Kita masih top tiga nasional. Jadi ini prestasi yang patut diapresiasi, bukan dikritisi dengan hoaks,” imbuhnya.
Namun, pernyataan Sekda Jabar ini dikritisi oleh Pakar Ekonomi dari Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi, yang menyebutkan bahwa penurunan kinerja memang nyata terjadi — dan tidak bisa dianggap hanya sebagai hoaks.
“Saya melihat memang ada perubahan dampak perubahan kebijakan fiskal dan politik anggaran, karena sekarang terjadi peningkatan di dalam belanja infrastruktur yang cukup signifikan dan itu membutuhkan proses lelang dan juga persiapan yang tidak cepat. Sehingga penyerapan belanja itu menjadi agak sedikit lambat,” ujar Acuviarta saat dihubungi bukamata.id, Kamis (10/7/2025).
Namun, hal yang lebih krusial menurutnya adalah kebijakan-kebijakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang dinilai mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat, khususnya kalangan menengah yang sedang berjuang di tengah tekanan ekonomi.
“Saya kira ada juga efek daripada kebijakan-kebijakan itu terhadap pendapatan, terutama tadi berkaitan dengan industri pertambangan. Kalau dari sisi perhotelan sebetulnya tidak, karena pajak hotel itu kan pajak kabupaten/kota, jadi efeknya lebih ke kabupaten/kota,” jelasnya.
Acuviarta menambahkan bahwa sektor perhotelan dan tambang, meskipun sebagian besar berada di bawah kewenangan kabupaten/kota, tetap memberikan efek berganda terhadap ekonomi provinsi.
“Tidak adanya aktivitas dinas di luar kantor, kunjungan sekolah, atau studi banding, itu pasti berdampak. Ditambah dengan kebijakan pembebasan pajak kendaraan bermotor — seharusnya insentif diberikan kepada yang patuh bayar, bukan yang menunggak. Ini malah bisa melemahkan kesadaran pajak masyarakat,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi ekonomi Jawa Barat saat ini juga sedang tidak baik-baik saja.
“Banyak perusahaan tutup, ekspor tidak menggembirakan, dan kebijakan-kebijakan itu mengakumulasi pelemahan ekonomi baik dari sisi makro maupun mikro,” katanya.
Meski optimistis masih ada ruang perbaikan, Acuviarta mengingatkan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap arah kebijakan fiskal provinsi agar tidak makin membebani masyarakat dan memperlambat pemulihan ekonomi.
“Saya kira peningkatan pendapatan ini harusnya bisa lebih cepat, karena kita berlangsung adanya intensif fiskal yaitu pembebasan tunggakan pajak kendaraan bermotor, karena itu pemasukan terbesar dari pemasukan pajak di Jabar sebagai sumber pendapatan pajak kendaraan bermotor, dan tentu juga pajak-pajak lain harus ditingkatkan terutama dari sisi PAD nya, ini juga saya kira harus dioptimalkan,” pungkasnya.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










