bukamata.id – Perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) rupanya menimbulkan sebuah ironi bagi peradaban manusia itu sendiri.
Begitu disampaikan Dirjen IKP Kemenkominfo, Usman Kansong dalam diskusi bertajuk ‘Pers, Artificial Intelligence, dan Problem Penegakan Kode Etik Jurnalistik: Bagaimana Solusinya?’ di Hall Dewan Pers, Kamis (28/3/2024).
Menurut Usman, ironi teknologi kecerdasan buatan atau AI salah satunya terjadi di Korea Selatan. Dimana sebanyak tiga presenter dalam sebuah stasiun televisi dipecat dan digantikan oleh virtual presenter.
“Ini ironi bagi saya dalam dunia AI. Dulu sampai sekarang sering disampaikan ga mungkin manusia digantikan oleh AI karena manusia itu punya emosi, cinta, kasih. Tapi justru karena manusia punya emosi itu maka dia makin cepat digantikan oleh AI,” ucap Usman.
Persoalan lain dari perkembangan AI ini, kata Usman, yakni teknologi kecerdasan buatan justru ‘membunuh’ banyak pekerjaan.
“Ironi kedua, AI membunuh banyak pekerjaan. Jadi tadi istilah meringkas pekerjaan itu kata lainnya membunuh banyak pekerjaan,” ujarnya.
Kemudian buruknya perkembangan teknologi kecerdasan buatan pada bidang media, kata Usman, adalah dalam segi penulisan berita yang dituntut untuk sesuai dengan algoritma.
“Kita ini sekarang ditengah maraknya teknologi digital, menulis berita itu di-drive oleh algoritma. Algoritma itu AI, dasarnya AI itu ya algoritma dan ketika menulis di-drive oleh algoritma maka kita menghasilkan jurnalisme umpan klik atau clikbait,” jelasnya.
Usman mencontoh, saat ini penulisan berita harus dikaitkan dengan kata kunci Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab,
“Contohnya ada berita tentang kosmetik, jangan lupa pakai kosmetik A kalau Anda mau menghadiri sidang di MK supaya tetap terjaga kecantikannya. Padahal ga ada urusannya sama MK tapi karena sekarang lagi rame-rame menuntut pemilu maka dipaksa-paksakanlah berita itu ditulis yang ada unsur MK. Itu yang namanya clickbate journalism,” tuturnya.
Menurutnya, budaya umpan klik atau clikbait ini akan menciptakan budaya rebahan di kalangan wartawan.
“Jadi wartawan itu instan, jadi budaya instan di kalangan wartawan yang menulis berita di-drive oleh algoritma bukan di-drive oleh kebijakan redaksional jadinya,” ungkapnya.
Oleh karena itu, saat ini banyak wartawan yang menulis berita tidak lagi untuk manusia namun untuk data.
“Jadi kan oleh si algoritma ini perilaku membaca kita pada hari itu yang gemar membaca segala berita yang ada unsur MK itu diubah jadi data,” imbuhnya.
Padahal, lanjut Usman, dalam menulis sebuah berita harus memenuhi tiga unsur penting, Yakni agency, dignity dan hope.
“Jadi berita kita mestinya kalau beritanya untuk manusia itu mengandung tiga unsur itu, kita ini di era teknologi ini yang tersisa cuman harapan, bahkan harapan kita digantungkan kepada mesin,” tandasnya.
Dapatkan berita menarik lainnya dari Bukamata.id di Google News, Klik di Sini.