bukamata.id – Politikus Ahmad Sahroni kembali menjadi sorotan publik setelah sebelumnya rumahnya dijarah pada akhir Agustus 2025. Setelah sempat muncul secara virtual dalam Musyawarah Nasional (Munas) Ikatan Motor Indonesia (IMI) pada pertengahan September, Sahroni kini tampil langsung di acara Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas Borobudur, Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Mengenakan toga hitam berlis merah khas Program Studi Hukum, Sahroni hadir sebagai salah satu peserta wisuda. Dalam tayangan YouTube resmi Universitas Borobudur, tampak dirinya tersenyum dan menyalami para petinggi kampus saat dipanggil ke panggung.
Sahroni meraih gelar doktor melalui disertasi berjudul “Pemberantasan Korupsi Melalui Prinsip Ultimum Remidium: Suatu Strategi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara.” Ia juga terlihat berfoto bersama Bambang Soesatyo (Bamsoet), mantan Ketua MPR RI yang turut hadir dalam acara tersebut.
Bamsoet, yang menjabat sebagai Ketua MPR RI ke-15 sekaligus Anggota Sidang Senat Terbuka Universitas Borobudur, menjelaskan bahwa tahun ini kampus meluluskan 594 mahasiswa dari program diploma tiga, sarjana, magister (S-2), hingga doktor (S-3).
Beberapa tokoh yang ikut diwisuda antara lain Ahmad Sahroni (NasDem), Trimedya Panjaitan (PDIP), Hamid Noor (PKS), Bupati Banyuasin Askolani, Mayjen TNI AD Endro Satoto, Hery Chariansyah, Taufan Zakaria, Ricky Setiawan Anas, dan Brigjen Pol I Gusti Gede Maha Andika. Seluruhnya merupakan lulusan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur.
“Momentum wisuda sarjana di berbagai perguruan tinggi harus dimaknai sebagai tonggak lahirnya generasi baru yang siap meraih masa depan gemilang. Wisuda bukan sekadar seremoni penyerahan ijazah, melainkan momentum strategis untuk melahirkan sumber daya manusia unggul, adaptif, dan inovatif yang mampu bersaing di kancah global menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Bamsoet dalam pidatonya.
Acara wisuda turut dihadiri Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, pejabat LLDIKTI Wilayah III, Pemprov DKI, Rektor Bambang Bernanthos, serta jajaran civitas akademika Universitas Borobudur.
Bamsoet juga menyinggung persoalan serius di dunia kerja. Berdasarkan data BPS Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka nasional mencapai 4,76 persen atau sekitar 7,28 juta orang. Dari jumlah itu, lulusan perguruan tinggi menyumbang 6,23 persen atau lebih dari satu juta orang. Lulusan SMK masih menduduki tingkat pengangguran tertinggi, yaitu 8 persen.
“Ini kontradiksi besar. Di satu sisi, kita memiliki jutaan sarjana baru setiap tahun. Namun di sisi lain, masih banyak yang belum terserap pasar kerja karena kompetensi yang dimiliki belum sepenuhnya sesuai kebutuhan industri. Artinya, masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan kita,” tegasnya.
Menurutnya, ketimpangan antara kurikulum pendidikan tinggi dan kebutuhan industri menjadi akar masalah. Pendidikan terlalu fokus pada teori, sementara pengalaman praktik sering kali hanya formalitas. Ia menilai mahasiswa seharusnya sejak awal berinteraksi dengan dunia kerja agar memiliki bekal menghadapi tantangan nyata.
Bamsoet kemudian mengapresiasi program Merdeka Belajar–Kampus Merdeka (MBKM) dari Kemendikbud. Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) yang melibatkan lebih dari 500 ribu mahasiswa dan 2.000 perusahaan, serta program Matching Fund dengan dana Rp2,3 triliun pada 2025, disebut sebagai langkah penting memperkuat sinergi kampus dan industri.
“Langkah-langkah ini harus diperkuat. DPR siap mendorong regulasi agar kemitraan kampus, industri, dan pemerintah menjadi standar nasional. Jangan sampai kebijakan bagus berhenti di tataran konsep,” ujar Bamsoet.
Ia juga menyoroti pentingnya pendampingan pascawisuda melalui career center aktif dan tracer study untuk memperbaiki kurikulum secara berkelanjutan.
“Data BPS tahun 2025 menunjukkan sekitar 55 persen pekerja Indonesia masih berada di level menengah ke bawah. Jika pendidikan tinggi gagal menciptakan mobilitas vertikal, maka bonus demografi justru bisa menjadi beban. Lulusan sarjana tidak cukup hanya memiliki ijazah. Mereka harus punya kemampuan belajar cepat, berpikir kreatif, dan adaptif terhadap teknologi baru,” kata Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, perubahan global menuju ekonomi digital dan hijau akan mengubah struktur pekerjaan secara besar. Berdasarkan data World Economic Forum, 23 persen pekerjaan akan terdampak otomatisasi, namun 69 juta pekerjaan baru muncul dengan tuntutan keahlian digital, analisis data, dan inovasi sosial.
“Generasi sarjana hari ini akan menjadi pengambil keputusan di tahun 2045. Dua dekade ke depan, mereka akan menentukan apakah Indonesia benar-benar menjadi negara maju atau tertinggal di gelombang perubahan. Karena itu, wisuda tidak boleh menjadi titik akhir, melainkan titik awal tanggung jawab baru,” pungkasnya.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News










