bukamata.id – Hubungan antara organisasi konservasi dan pemerintah tidak pernah sederhana. Di atas kertas, keduanya memiliki tujuan yang saling beririsan: melindungi lingkungan, memastikan ekosistem tetap terjaga, dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Namun dalam kenyataannya, relasi ini sering berjalan timpang, penuh friksi, atau bahkan tanpa komunikasi sama sekali. Hal inilah yang digambarkan Chanee, pendiri Kalaweit Foundation, dalam sebuah video yang kembali memantik perbincangan publik.
Dalam rekaman itu, Chanee mengungkapkan pengalaman panjang selama hampir tiga dekade berkecimpung di Indonesia dalam upaya menyelamatkan berbagai satwa dan ekosistem yang terancam. Namun pengalamannya tidak berhenti pada persoalan perlindungan fauna—ada dimensi lain yang menurutnya jauh lebih kompleks, yaitu bagaimana perjuangannya kerap berbenturan dengan kebijakan pemerintah, khususnya di masa lalu.
Ia membuka ceritanya dengan penegasan bahwa perjuangannya selama 27 tahun lebih dari sekadar aktivitas penyelamatan hewan. Baginya, konservasi berarti memastikan masa depan lingkungan tetap layak huni, bukan hanya bagi satwa liar, tetapi juga manusia yang tinggal berdampingan dengan ekosistem tersebut. Di sinilah ia merasa berbagai upaya yang dilakukan justru tidak selalu mendapat dukungan dari pihak yang seharusnya memberi ruang.
Perjalanan itu, menurut Chanee, bukan hanya tentang idealisme, tetapi juga tantangan sistemik yang berulang kali mereka hadapi. Hambatan tersebut tidak sekadar berupa birokrasi panjang, tetapi juga bentuk tekanan langsung dari Kementerian Kehutanan di periode kepemimpinan sebelumnya. Tekanan yang dialaminya membuat organisasi seperti Kalaweit tidak hanya sulit bergerak, tetapi juga terbatasi dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Kutipan paling tajam datang ketika ia menceritakan bagaimana kementerian sebelumnya memperlakukan organisasi yang ia bangun sejak 1998. Chanee menuturkan:
“Selama 9 tahun terakhir masa jabatan menteri sebelumnya, kami tidak hanya diabaikan, kami juga ditindas.”
Menurutnya, tekanan tersebut tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan:
“Izin kami tidak diperpanjang, dan kami bahkan dilarang memposting di media sosial hal-hal yang tidak disukai kementerian mengenai konservasi.”
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa pembatasan yang mereka alami jauh dari sekadar persoalan administrasi. Larangan menyampaikan kondisi lapangan di media sosial, misalnya, merupakan bentuk pembungkaman yang berdampak langsung pada kebebasan berekspresi—terutama bagi organisasi yang tugas utamanya adalah menyampaikan situasi lingkungan apa adanya.
Kondisi ini juga berimbas pada semakin lebarnya jurang komunikasi antara LSM dan pemerintah. Chanee mengungkapkan bahwa selama bertahun-tahun dialog sebenarnya hampir mustahil terjadi. Ia mengatakan dengan tegas:
“Saat itu dialog Kalaweit atau LSM dengan Kementerian Kehutanan hampir gagal, tidak berhasil sama sekali.”
Pernyataan itu mencerminkan situasi yang mengkhawatirkan: ketika pihak yang bekerja langsung di lapangan tidak dapat menyampaikan temuannya kepada pembuat kebijakan, maka masalah-masalah besar di tingkat ekologi hanya menumpuk, tidak terselesaikan, dan pada akhirnya memperparah kerusakan alam.
Di tengah kebuntuan ini, kerusakan lingkungan terus berlangsung. Kawasan hutan yang seharusnya dilindungi beralih fungsi, bekas tambang dibiarkan terbuka tanpa reklamasi, dan perkebunan sawit ilegal masuk ke area yang seharusnya menjadi habitat satwa. Semua itu terjadi ketika jalur komunikasi antara para pelaksana konservasi dan pemerintah tidak berjalan semestinya.
Namun dalam setahun terakhir, menurut Chanee, situasi mulai berubah. Ada ruang baru untuk komunikasi, dialog yang sebelumnya tertutup kini perlahan dibuka kembali. Puncaknya adalah ketika Menteri Kehutanan yang menjabat saat ini melakukan kunjungan langsung ke lokasi konservasi Kalaweit. Kunjungan tersebut tak sekadar seremonial—untuk pertama kalinya, seorang menteri melihat langsung kondisi lapangan yang selama ini hanya disampaikan melalui laporan dan peringatan.
Dalam video itu, Chanee memperlihatkan bagaimana ia mengajak sang menteri terbang menggunakan pesawat ringan untuk menyaksikan sendiri kerusakan hutan dari udara. Dari atas, tampak jelas danau-danau raksasa bekas tambang yang terbengkalai, hamparan sawit ilegal yang menjalar masuk ke kawasan hutan produksi, serta area yang kehilangan tutupan pohon akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali.
Momen ini, kata Chanee, merupakan titik balik penting. Ia menyebutnya sebagai kesempatan pertama bagi Kalaweit untuk berbicara secara terbuka dengan pengambil kebijakan utama di bidang kehutanan. Ia menegaskan:
“Ini adalah kali pertama kami berbicara empat mata secara terbuka mengenai situasi di lapangan dengan seorang Menteri Kehutanan. Ini adalah momen yang sangat penting.”
Namun ia cepat menambahkan bahwa perjalanan perbaikan kondisi ekologis tidak akan berlangsung cepat. Kerusakan yang terjadi selama puluhan tahun membutuhkan keseriusan pemerintah untuk memperbaikinya—mulai dari kebijakan yang tegas, penegakan hukum yang konsisten, hingga pemantauan berkelanjutan. LSM seperti Kalaweit, menurut Chanee, hanya dapat memberikan masukan dan bekerja di lapangan, sementara kewenangan utama tetap berada di tangan pemerintah.
Pesannya kemudian bergeser menjadi refleksi yang lebih luas. Chanee mengingatkan bahwa kerusakan alam telah menumpuk peringatan demi peringatan, mulai dari banjir, longsor, hingga meningkatnya temperatur dan hilangnya keanekaragaman hayati. Semua itu, katanya, adalah alarm dari alam yang tidak boleh lagi diabaikan.
Ia menutup pesannya dengan tekad bahwa organisasi yang ia pimpin akan terus menyuarakan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Sejauh apa pun tantangan dan situasi politik yang berubah-ubah, komitmen mereka tetap sama. Ia menyatakan:
“Kalaweit Foundation akan terus memberikan nasehat dan masukan kepada siapapun yang ingin mendengar pentingnya menjaga kelestarian hutan alam yang tersisa untuk generasi mendatang.”
Dalam konteks inilah, perubahan sikap pemerintah dalam setahun terakhir menjadi sinyal positif, meski bukan akhir dari perjuangan. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana memastikan suara para pegiat konservasi tidak lagi dibungkam seperti di masa lalu, dan bagaimana suara tersebut diterjemahkan menjadi kebijakan nyata yang berpihak pada kelestarian alam Indonesia.
Karena pada akhirnya, masa depan hutan dan satwa Indonesia bukan hanya urusan pemerintah atau LSM, tetapi kepentingan seluruh masyarakat yang mewarisi bumi yang sama.
Baca Berita bukamata.id lainnya di Google News









